Busway, I’m in Love

29 Desember 2008

Tahukah engkau, kalau setiap detik cinta turun ke bumi? Ia mengetuk pintu hati kita setiap waktu. Bukalah dan jangan biarkan ia menunggu.

LIMA belas menit sudah aku menunggu di halte busway depan kantorku yang terletak di kawasan kuningan, Jakarta. Bersama beberapa penumpang lainnya di dekatku yang mulai gelisah.

Hari memang masih sore, tapi sepertinya semua orang yang ada di sini enggan berselimut senja hari ini. Angin terasa dingin menusuk tulang. Perut lapar dan lelah mendera sebagian orang. Tak terkecuali aku.

Dua puluh menit lewat! Akhirnya kaki-kaki pun terasa ngilu dan pegal. Berdiri memang melelahkan, walaupun aku tak pernah mengeluh ketika harus berjalan kaki sejauh apapun. Tapi berdiri dan hanya bisa menunggu, kuakui itu memang perpaduan dua hal yang paling membosankan.

Dua orang perempuan di belakangku asyik bergosip tentang suasana di kantor mereka hari ini. Kadang berbisik, dan tak jarang mereka tertawa kecil. Aku memang tak pernah suka mendengarkan perbincangan orang lain yang bukan urusanku. Tapi, kalau kalau sudah begini, tentunya menutup telinga pun sudah tak mungkin.

Seorang lelaki paruh baya di sampingku mengomel tiada henti. Entah pada siapa. Yang jelas, kalimat-kalimat yang keluar dari bibirnya tak pantas kuungkapkan kembali di sini. Aku hanya tersenyum. Hal-hal seperti ini memang kerap terjadi setiap hari di halte busway. Dan bila hal seperti ini diceritakan pada teman-teman, hampir dipastikan kalimat sama akan terlontar. “Ini Jakarta, bung!”

Akhirnya setelah 30 puluh menit menunggu, sebuah bus tampak mendekat. Seperti dalam sebuah lomba lari, semua peserta bersiap-siap dengan wajah tegang. Beberapa orang di belakang mendorong mereka yang berada di depan. Seolah takut bus yang datang adalah yang terakhir untuk hari ini.

Saat pintu bus terbuka. Keluhan bernada sama terdengar. Penyebabnya tak lain karena bus sudah penuh penumpang yang naik dari halte sebelumnya. Dan karena posisiku terlanjur berada paling depan, mau tidak mau akhirnya aku masuk juga ke bus yang sudah sesak. Bersamaku masuk pula seorang perempuan sebayaku. “Dua orang saja, ya!” Seru kondektur bus yang langsung mengintruksikan pada si sopir untuk kembali berangkat.

Di dalam bus, aku hampir tak bisa berdiri dengan posisi yang nyaman. Tapi paling tidak sekarang aku tak sedang menunggu di halte lagi, batinku untuk menenangkan diri sendiri.
Mungkin aku memang sedang tak beruntung hari ini. Beberapa kendaraan pribadi yang melanggar dengan masuk ke jalur busway membuat perjalanan menjadi terhambat. Bus pun akhirnya hanya bisa merayap. Di antara himpitan orang seperti ini, fasilitas AC dalam bus seolah tak membantu.

Terkadang hal seperti ini memang terjadi. Atau mungkin seringkali terjadi. Beberapa mobil mewah berpenumpang hanya dua-tiga orang dengan seenaknya melanggar peraturan seolah si pembuat peraturan adalah nenek moyang mereka sendiri. Padahal, ketika mobil-mobil itu mengambil jalur busway, hal ini jelas sangat merugikan pengguna layanan transportasi yang seharusnya bebas macet ini.

Kemacetan ini pun tentunya bukan hanya sebentar, mengingat jalan Rasuna Said cukup panjang dan hanya ada sedikit jalan memutar. Itu pun bila ada di antara mobil-mobil itu ingin memutar. Ah, tak sadar aku jadi ikut mengeluh. Dan tentunya aku tak sendiri. Beberapa penumpang lain pun menggerutu. Biasanya saat keadaan seperti ini, kondektur kerap menjadi tumpahan keluhan penumpang. Walaupun tentunya keadaan ini bukan salah mereka.

“Kapan ya, mas, orang-orang itu sadar kalo tindakan mereka itu salah?” sebuah suara lembut mengagetkanku. Tak perlu kucari kemana-mana, karena memang pemilik suara itu tepat berdiri di hadapanku. Dia adalah perempuan yang ikut bersamaku naik di halte yang sama.
Aku hanya tersenyum mendengar ucapannya. Biasanya kalo aku sudah bicara, akan lama berhentinya. Mulai dari bercerita, bertanya, hingga ngomel-ngomel. Untungnya aku selalu berusaha menahan diri pada orang yang baru pertama kali bertemu.

“Seharusnya, kalo mereka pengen engga macet, kenapa tidak naik busway aja, sih. Apa mereka engga sadar kalo tindakan mereka itu merugikan banyak orang?” Perempuan itu bicara lagi. Melihat matanya tertuju padaku, tentunya ia memang ingin mengajaku bicara. Jadi, kuputuskan saja untuk menjawab ucapannya. “Ya, mungkin mereka tidak mau berdesak-desakan dalam bus, mbak. Lagipula, mereka kan punya mobil, untuk apa naik bus,” jawabku sekenanya.

Perempuan itu tersenyum mendengar jawabanku. “Apalah artinya punya sesuatu, kalo mereka juga mengambil sesuatu dari orang lain.” Aku melongo mendengar kalimat yang baru saja terlontar dari bibir lawan bicaraku. “Maksudnya?” Perempuan itu tertawa kecil. Aku jadi sedikit salah tingkah. Kuakui wajahnya memang cukup manis. Dan bentuk bibirnya saat tertawa tadi begitu menarik. Ah, aku jadi berpikir yang bukan-bukan. Ada-ada saja, di tempat dan situasi seperti ini pula, pikirku mengingatkan.

“Lho, mas engga sadar, ya kalo waktu yang mas miliki udah diambil sama orang-orang itu?” ujarnya menjawab pertanyaanku barusan. Aku diam sebentar lalu tersenyum. “Ah, begitu ya, maksudnya,” ujarku asal. “Mas, naik busway biar engga macet dan engga buang waktu di jalan, kan? Nah, karena ada orang-orang yang melanggar itu, waktu mas jadi terbuang percuma. Dan ingat, bukan cuma mas dan aku aja yang merasa begitu. Semua penumpang bus ini pun juga seharusnya merasakan hal yang sama.” Ia terus saja bicara dan aku hanya bisa mengangguk-angguk sambil sesekali mencuri gerak bibirnya. Seperti siapa, ya, aku mulai menerawang jauh.

“Busway ini kan, transportasi yang disediakan untuk orang-orang yang…ya, ingin terhindar dari macet, lah. Kalo sudah begini, sama saja dong dengan naik kendaraan umum biasa. Malah mungkin masih enak naik kendaraan umum biasa, bisa dapat duduk, engga berdiri berjejalan seperti ini,” ujarnya lagi. Aku mengangguk lagi mengiyakan. Ah, kalo dipikir-pikir, semua yang diucapkan perempuan ini memang benar adanya. Bahkan, aku pun seringkali berpikir seperti itu. Hanya saja, aku tak pernah mengeluhkan secara langsung. Paling hanya menggerutu dalam hati saja.

“Coba ya, mas kalo mereka mau berubah. Tentunya mobil pribadi akan semakin sedikit di jalan raya. Selain menekan polusi, Jakarta juga engga perlu terus-terusan macet seperti ini. Walaupun memang banyak juga, lho, mereka yang sebenarnya punya mobil tapi kemudian mulai beralih menggunakan busway ini.” Aku membenarkan ucapannya dan mengingat-ingat siapa saja teman kantorku yang mulai meninggalkan kendaraan pribadinya dan beralih ke busway.

Alasan mereka yang meninggalkan kendaraan pribadi dan beralih ke busway bisa bermacam-macam. Mulai dari menghemat bensin yang harganya sempat melonjak. Hingga menghindari macet. Sedangkan yang menolak beralih pun punya macam-macam alasan. Ada yang bilang, buat apa punya kendaraan kalau tidak dipakai. Sampai alasan pelayanan busway belum memuaskan, jadi ya, malas aja kalau beralih pakai busway. Ah, kalau begini, sih, memang tergantung pribadinya masing-masing, ya!

“Mas sendiri kenapa naik busway? Bukannya lebih enak kalo cowo tuh naik motor, jadi bisa nyelip-nyelip, gitu.” Aku tertawa mendengar pertanyaannya. Kujawab saja. “Ya, habis gimana lagi, mbak. Saya belum punya kendaraan pribadi, ko. Ya, akhirnya busway jadi andalan buat sementara.” Perempuan itu tersenyum geli mendengar jawabanku. “Oh, jadi kalo nanti sudah punya kendaraan pribadi, rela macet-macetan lagi bersama mereka,” ujarnya sambil menunjuk ke luar jendela di mana mobil-mobil pribadi tampak masih tertahan macet. Aku hanya melongo.

“Eh, maksudku…” Aku jadi gelagapan ditembak seperti itu. Lagipula aku tak suka bila orang menilai apa yang ada di kepalaku begitu saja. “Ah, aku hanya bercanda.” Ia tertawa lagi. Sepanjang perjalanan, aku pun terus berbincang dengannya. Kuakui, ia begitu saja menjelma menjadi teman seperjalanan yang menyenangkan. Sedikit cerewet, sih, tapi tak masalah bagiku. Terkadang aku pun tak keberatan bila berperan sebagai pendengar setia.

Tak terasa, bus mulai memasuki jalanan Warung Buncit. Untungnya, sudah tak ada lagi mobil-mobil pribadi yang masuk ke jalur busway. Jadi bus pun melenggang tanpa halangan. Belakangan ini, Busway Transjakarta memang menyediakan beberapa petugas di ruas jalan tertentu untuk memblokir pintu masuk ke jalur busway. Hasilnya, mobil pribadi, kendaraan umum lain, dan sepeda motor tak bisa masuk ke jalur busway.

Aku selalu menganggap orang-orang yang bertugas memblokir pintu masuk itu sebagai orang-orang yang sangat berjasa dan mengabdi sepenuhnya pada pekerjaan mereka. Walaupun hanya dengan melihatnya saja, aku menemukan betapa membosankannya pekerjaan yang mereka jalani.

Terkadang aku bersyukur dengan pekerjaan yang aku miliki saat ini. Walaupun sejujurnya, aku pun tak jarang menemukan kebosanan dengan rutinitas yang ada. Tapi bila menengok orang lain di sekitarku dengan pekerjaan mereka yang bagiku membosankan, sudah seharusnya aku bersyukur. Dan bukankah dengan bersyukur, maka kita dapat menjalani pekerjaan kita sebaik-baiknya?

“Hey, malah bengong! Turun di mana?” Aku tersentak mendengar teguran perempuan di depanku. Bila ada cermin, tentu aku bisa melihat wajahku memerah karena malu. Bagaimana tidak, aku baru saja melamun dengan sepasang mataku menatap lurus ke wajahnya! Ah, kuharap ia tak berpikir macam-macam. Kulihat ia tertawa kecil dan tak bicara apa-apa. “Turun di Jatipadang. Memangnya mbak turun di mana?” pertanyaan formalitas meluncur spontan dari bibirku.

“Hmmm…berarti mas, duluan deh. Aku turun di Ragunan. Habis itu lanjut lagi sampai Depok,” ujarnya. “Lho, masih jauh, dong. Lanjut pake apa?” tanyaku lagi. “Mobilku parkir di sana. Ke Ragunan cuma ambil mobil aja, habis itu lanjut ke Depok. Setiap hari begini, ko. Kalo tidak, Jakarta bisa tambah macet, kan…” Aku mengangguk saja mendengar penjelasannya.

Mendadak aku jadi tersenyum sendiri. Imej perempuan yang kebanyakan hidup sebagai mahluk yang manja dan hanya menuntut kenyamanan dalam menjalani hidup sirna begitu saja di kepalaku. Perempuan yang sepanjang perjalanan menjadi teman bicaraku ini nyata-nyata salah satu dari mereka yang mau menyisihkan setengah dari kenyamanannya demi berbagi bersama warga Jakarta lainnya untuk menciptakan kota Jakarta yang lebih baik.

Padahal bila saja ia mau, ia dapat memanfaatkan fasilitas yang dimilikinya itu agar bisa menikmati kenyamanan sepanjang hari. Tentunya bagi sebagian besar orang, tetap akan berpikir kalau lebih baik berada dalam mobil pribadi yang lega dan nyaman, dengan AC dan musik yang setia menemani perjalanan daripada berdiri berdesak-desakan dalam kendaraan umum.

Ah, andai saja, semua warga Jakarta memiliki pemikiran dan kemauan yang sama dengan perempuan ini, tentunya kemacetan Jakarta bukanlah hal yang perlu dipusingkan setiap hari. Mungkin memang benar, untuk menjadikan Jakarta yang lebih baik, seharusnya dimulai dari warganya yang mau berusaha untuk menjadi lebih baik. Salah satunya seperti yang sudah dilakukan perempuan ini.

Lagipula, sebagai mahluk sosial, bukankah sebaiknya kita mau untuk berbaur dengan mahluk sosial lainnya. Salah satu contohnya, dengan bersama-sama menggunakan fasilitas umum secara benar dan bertanggungjawab. Di busway ini pun, setiap hari aku bisa melihat bagaimana manusia mau untuk berbagi dan memberikan kasih sayangnya pada manusia lainnya yang membutuhkan.

Aku lihat, tak jauh dari tempatku berdiri, ada seorang lelaki yang dengan rela memberikan tempat duduknya pada seorang ibu hamil. Sedangkan di deretan kursi yang dikhususkan bagi penumpang cacat, seorang lelaki dengan kondisi satu kaki lumpuh, duduk sambil tersenyum karena merasa lega keberadaan dirinya sudah dihargai. Tampak jelas juga olehku, sepasang kekasih yang sama-sama berdiri dan asyik bercanda di ujung sana. Padahal seingatku, sebelumnya ada yang menawarkan tempat duduk pada si perempuan. Tapi dengan halus ia menolaknya dan memilih untuk menemani kekasihnya berdiri.

Pemandangan seperti ini kerap terjadi di depan mataku setiap hari. Aku sadari betapa banyak cinta di sini yang tak pernah disaksikan orang-orang di luar sana, yang seringkali hanya berpikir bagaimana caranya untuk membahagiakan diri sendiri dan tanpa sadar telah menepikan orang lain yang membutuhkan.

“Haltenya dah nunggu, tuh.” Perempuan di depanku mengingatkan saat halte pemberhentianku sudah terlihat. Aku tersenyum dan berterimakasih padanya untuk obrolan kami selama perjalanan. Tak lupa kuingatkan padanya untuk berhati-hati karena perjalanannya sendiri masih cukup jauh. Ia membalas dengan mengangguk.

Saat bus benar-benar berhenti dan pintunya terbuka, aku pun segera melangkahkan kakiku ke luar. Tak sadar, kupalingkan wajahku kembali ke arah pintu bus yang kembali menutup. Di sana, kulihat perempuan itu tersenyum manis sekali sambil melambaikan tangan. Kudengar ia sempat berkata. ”Kalo nanti udah punya mobil sendiri, jangan ikut-ikutan masuk jalur busway, ya, mas!” Aku hanya tertawa dan melambaikan tanganku juga padanya.

Read more...

Surat untuk Sahabat

TUHAN menciptakan dunia ini sebagai sebuah ladang yang luas, yang tiap petaknya adalah jiwa-jiwa kita. Kemudian Ia taburkan setiap benih di atas jiwa-jiwa itu, dan meminta kita untuk menyiraminya. Ia berkata "peliharalah yang Ku-titipkan kepadamu. Sesungguhnya Ku-janjikan di jiwamu, akan tumbuh kebahagiaan."

Setelah hari itu, tumbuhlah sebuah pohon kecil di jiwaku. Walaupun kecil, sesungguhnya pun aku telah merasakan kebahagiaan itu. Lalu kusadari sulitnya membuat kebahagiaan itu tumbuh lebih. Hingga aku berjumpa engkau.

Akhirnya aku pun tak sendiri memelihara pohon ini. Kau berikan airmata tuk menggemburkan tanah tempatnya berpijak. Senyuman tuk menyiangi hamanya. Tawa dan tangisan tuk menguatkan akar dan batangnya. Dan doa untuk menumbuhkan buah di dahannya.

Wahai engkau yang kupanggil teman seperjalanan sejak saat itu, buah ini adalah cinta yang tumbuh dari kebahagiaan. Sungguh, maka ijinkanlah aku berbagi manisnya bersamamu.

Irisan terakhir kan kubawa pergi, karena sungguh jalanku masih panjang. Dan aku yakin begitu pun dengan engkau. Semoga irisan ini dapat menjadi bekal bagiku.

Engkau yang pernah mengisi cawan di jiwaku dengan airmata dan senyuman. Engkau yang pernah menaburkan bintang-bintang di mimpi-mimpiku setiap malam. Dan engkau yang pernah merajut sejuta keindahan di lembaran-lembaran kisahku di hadapan Tuhan.

Terima kasih sebesar-besarnya kuucapkan kepada engkau, engkau, dan engkau. Karena begitu banyak engkau di dalam hidupku.

Read more...

Neverland

28 Desember 2008

Sebuah tempat dari mana kita berasal dan ke mana kita akan kembali.

SORE itu ia pulang dan membawakanku dua benda. Benda pertama adalah sebuah mainan bernama Lego. Aku tak terlalu mempedulikannya karena di kotak mainanku sudah cukup terpenuhi banyak barang. Benda kedua sebuah buku bergambar. Saat itu, umurku baru tiga tahun dan belum pintar membaca. Aku sangat tertarik dengan gambar-gambar dalam buku itu, kuminta ia membacakannya untukku. Ia bilang, judul buku itu adalah Neverland.

Di buku itu, ada sebuah tempat yang sangat indah. Di sana ada anak-anak yang bisa terbang. Ia bilang tempat itu bernama Neverland. Aku pikir itu pasti tempat yang jauh sekali. Mungkin letaknya di luar negeri, seperti tempat-tempat yang aku lihat di televisi.

“Apakah anak-anak di sana memang bisa terbang?” Aku penasaran. Di antara saudara-saudaraku, kuakui aku memang yang paling cerewet. Tapi, aku pikir orang dewasa malah menyukainya. Aku ingat ketika sepupuku yang lebih kecil belum bisa bicara. Orang-orang dewasa di sekitarnya malah memaksanya untuk cepat bicara. Jadi, orang dewasa tentu tak keberatan bila anak kecil banyak bicara, bukan?

Ia mengatakan bahwa anak-anak di Neverland memang bisa terbang, asal tidak nakal. Aku rasa aku tidak terlalu nakal, jadi aku tentu bisa terbang bila ada di sana. “Jadi, apakah aku bisa ke sana?” tanyaku lagi. Ia mengangguk dan mengatakan bahwa aku akan ke sana bila sudah waktunya. Aku kesal mendengar jawabannya. Aku pikir ia tak akan mengajakku ke sana. Aku langsung diam. Anak kecil juga bisa marah, kan?

Tiba-tiba ia batuk. Akhir-akhir ini ia memang sering begitu. Aku rasa ia sedang sakit. Aku memang kesal, tapi aku juga kasihan melihatnya seperti itu. Aku tahu sakit itu rasanya tidak enak. Aku juga takut dokter.

Tiba-tiba ibu datang datang sambil membawa segelas air dan obat. Ibu tampak sangat khawatir. Ibu memang sangat sayang padanya. Dan aku tahu ia juga sangat menyayangi ibu. Karena setiap kali pulang ke rumah, ia tak pernah lupa mencium kening ibu. Aku lihat ibu suka diperlakukan seperti itu. Apakah orang-orang dewasa memang selalu seperti itu? Aku tak mengerti hubungan orang dewasa.

Hari berikutnya, ia tak pergi kemana-mana. Seharian hanya berbaring di tempat tidur. Dokter datang ke rumah dan aku bersyukur dokter bukan datang untukku.

Sebenarnya aku masih kesal padanya. Tapi aku juga rindu suara tawanya. Aku ingin ia menggendongku dan mengajakku jalan-jalan. Tapi aku tahu saat ini ia tak bisa kemana-mana. Makan pun selalu di kamar. Apakah ia sakit karena kemarin aku marah padanya? Aku jadi takut bertemu dengannya.

Hari berikutnya, ibu dan kakek membawanya pergi. Mereka bilang ke rumah sakit. Aku tak ikut karena aku takut bertemu dokter. Selama beberapa hari aku hanya ditemani saudara-saudara dan teman-teman. Aku pun merasa kesepian dan ingin melihatnya kembali pulang ke rumah.

Ibu mengajakku pergi menengok ke rumah sakit. Katanya ia ingin bertemu denganku. Aku bilang, aku juga ingin bertemu dengannya. Tapi aku tak mau ke rumah sakit. Jadi, kenapa tidak ia saja yang pulang ke rumah. Tapi, aku tak mau dibilang nakal karena tak menurut pada ibu.

Akhirnya aku pergi ke rumah sakit. Di sana, aku lihat ia terbaring di kamar yang semuanya serba putih. Ia tersenyum dan mengulurkan tangannya padaku. Aku diam saja. Biasanya kalau aku seperti itu, ia pasti langsung menggendongku. Aku suka digendong olehnya. Kadang, badanku diangkatnya tinggi sekali seperti mau terbang.

“Kau masih marah padaku?” Ia tersenyum dan mengacak rambutku. Ia tahu aku benci diperlakukan seperti itu. Biasanya aku pasti marah, tapi kali ini aku tak ingin marah padanya. Jadi aku diam saja.

“Apa kau mau aku cerita lagi tentang Neverland?” Aku langsung tersenyum dan mengangguk. Tadinya aku pikir ia tak mau lagi menceritakannya padaku. Aku pun duduk di sampingnya.
Aku lihat wajahnya sangat pucat. Tangan yang biasanya kuat menggendongku pun tampak lemah tak berdaya. Aku benar-benar kasihan melihatnya seperti itu. Aku juga menyesal kemarin marah padanya.

“Apakah aku boleh pergi ke Neverland?” tanyaku. Ia lalu tersenyum dan menjawab. “Kita semua boleh ke Neverland. Tapi kalau sudah waktunya.” Aku senang mendengar jawaban itu walaupun aku tetap bertanya-tanya, kapan ia akan mengajakku ke sana. “Neverland adalah tempat dari mana kita berasal dan ke mana kita akan kembali. Jadi siapa pun pasti akan pergi ke sana.”

“Tapi, sebelum kau bisa pergi ke sana, kau harus menjadi anak yang rajin dan menuruti semua perintah ayah dan ibu.” Aku berjanji padanya untuk melakukan semua hal yang dikatakannya.
Tiba-tiba ia terbatuk. Aku takut melihatnya seperti itu. Beberapa dokter masuk ke kamar. Ibu datang dan menggendongku keluar kamar.

Di luar, ibu tampak cemas. Aku diam saja dan menyibukan diri dengan balok-balok lego-ku. Walaupun sebenarnya aku ingin kembali ke kamar saja dan mendengarkan cerita tentang Neverland. Aku sedikit terhibur karena kakek dan nenek menemaniku. “Bu, aku ingin buat istana!” Ibu tersenyum dan membelai rambutku. Ibu memang sangat sabar dan hampir tak pernah memarahiku. Padahal tembok di rumah banyak yang penuh coretan-coretan pensil gambarku. Apalagi beberapa hari ini aku sibuk menggambar Neverland di tembok kamarku.

Tiba-tiba ibu beranjak menuju kamar. “Bu, jangan pergi. Temani aku. Istananya hampir jadi!” teriakku. Tapi sepertinya ibu tak mendengar dan langsung masuk ke kamar. Aku segera bangkit dan mengejar ibu. Brak! Tak sengaja, susunan lego-ku tersenggol hingga berantakan. Tapi aku tak peduli dan segera masuk ke kamar mengikuti ibu.

Tiba-tiba aku terdiam di bibir pintu. Kulihat ibu menangis. Perlahan aku berjalan mendekati ibu. “Sudahlah, relakan saja. Mungkin sudah waktunya ia kembali ke tempat dari mana ia berasal,” ujar kakek memegang pundak ibu yang terus menangis.

Aku tersentak mendengar ucapan kakek. Apa maksud ucapannya tadi? Lalu terlintas nama sebuah tempat yang belakangan ini begitu akrab di telingaku. Neverland.

Read more...

New Blog

13 Desember 2008

Please visit my new blog at www.bambangsuprapto.ucoz.net

Read more...

Cinta

23 Oktober 2008

Sains dapat menjelaskan bagaimana cinta mempengaruhi otak. Tapi apa yang dapat menjelaskan bagaimana cinta mempengaruhi hati? - Chris Johns , Editor in Chief of National Geographic Magazine

ANDA dan saya tentunya tak menyangkal bahwa kita pernah benar-benar mabuk kepayang disebabkan satu hal, yaitu cinta. Bayangkan ciuman pertama Anda bersama kekasih pertama. Mungkinkah Anda rela menukar momen indah itu dengan apapun di dunia ini? Ah, tak perlu munafik. Itulah cinta di mana Anda tak perlu berdusta.

Saya pernah membaca artikel menarik di Majalah National Geographic Indonesia edisi Februari 2006 yang membahas masalah cinta ini. Menurut artikel tersebut, cinta dan gangguan obsesif-impulsif (OCD, biasanya ditemukan pada pasien penyakit jiwa) sebenarnya memiliki ciri kimiawi yang serupa. Artinya? Cinta dan gangguan jiwa mungkin sulit dibedakan.

Nah, sekarang Anda mengerti mengapa orang yang sedang jatuh cinta kerap disebut tengah mengidap penyakit cinta, bukan?

Donatella Marazitti, profesor psikiatri di Universitas Pisa, Italia adalah orang yang pernah meneliti aspek biokimia pada penyakit cinta. Ia mengukur kadar serotonin (pemancar syaraf) dalam darah pada 24 orang yang telah jatuh cinta selama enam bulan terakhir. Hasilnya, mereka menemukan adanya ketidakseimbangan serotonin pada para kekasih ini. kadarnya bahkan 40% lebih rendah dibandingkan orang yang normal (tidak sedang jatuh cinta). Dalam kata lain, orang yang jatuh cinta adalah “orang gila.”

Jadi kalau tidak mau jadi gila, hendaknya jangan jatuh cinta.

Tapi, kita pastinya akan menolak mentah-mentah anjuran untuk tidak menjadi “gila” ini. Alasannya sederhana. Siapa sih, yang mau menolak kenikmatan dari perasaan mencintai dan dicintai? Walaupun, terkadang cinta sendiri kerap menyakiti. Tak jera, kita terus saja jatuh cinta dan patah hati berulang kali. Padahal begitu masuk ke dalam lingkaran ini, seseorang sudah dianggap terperangkap dalam emosi yang tidak terkendali. Cinta buta dan cemburu buta adalah contohnya.

Sigmund Freud secara gamblang pernah memunculkan sebuah teori ekstrim tentang timbulnya perasaan cinta. Psikoanalis ini pernah menyatakan bahwa dorongan cinta sebenarnya timbul dari adanya dorongan seksual. Di mana gairah seksual lebih bisa terpuaskan bila didapatkan dari orang yang dicintai. Pilihan kita dipengaruhi keinginan tak terpuaskan untuk berhubungan seks dengan ibu, pada anak lelaki, dan ayah, pada anak perempuan. Hal inilah yang kemudian terkenal dengan sebutan Oedipus Complex.

Sebuah teori setelahnya beranggapan cinta memang bersifat reaktif (timbul dari ketidaksadaran kolektif), bukannya proaktif. Teori ini menyatakan bahwa kita mencintai seseorang karena didorong pengalaman masa kanak-kanak yang berawal dari keintiman bersama orangtua dan atau teman-teman masa kecil. Tindakan mencintai ketika dewasa kemudian menjadi sebuah harapan untuk meraih kembali masa lalu yang dirindukan, dan bukannya karena masa depan yang ingin dibangun. Teori ini jelas memasukan Oedipus Complex sebagai referensi.

Namun kemudian teori Freud dan Oedipus Complex mendapat tandingan dengan munculnya psikologi evolusi. Hipotesisnya menyatakan bahwa alasan kita mencintai lebih disebabkan teknik bertahan hidup yang sederhana. Maksudnya? Ya, ketertarikan pada lawan jenis lebih bertujuan untuk dapat memiliki dan menghasilkan keturunan terbaik. Pasangan yang sehat, kuat, dan cerdas dianggap layak untuk dicintai karena akan membantu untuk memberikan keturunan yang akan mampu bertahan dalam seleksi alam.

Tak heran ada kebudayaan yang beranggapan bahwa memilih pasangan hidup berdasar alasan “cinta buta” adalah tindakan bodoh. Sebagian masyarakat kita (Indonesia), bisa dikatakan salah satu dari penganut kebudayaan ini. Anda, tidak lupa dengan istilah bibit, bobot, dan bebet, bukan?

Namun lepas dari teori-teori di atas, cinta telah menjadi tuntutan akan kebutuhan setiap manusia untuk mencapai kebahagiaan. Tengok saja para pecinta yang tengah mabuk kepayang. Keinginan mencintai mereka seringkali dilandasi oleh keinginan untuk dicintai, bukan? Ungkapan “apapun akan kulakukan untukmu, sayang” tak dipungkiri memiliki bahasa tersembunyi dari “Tentunya, bila kau juga mau melakukan apapun untukku.”

Cinta pun akhirnya muncul sebagai sebuah sarana untuk mendapatkan hubungan timbal balik yang efektif. Apapun nama dan jenisnya, cinta menjelma menjadi bentuk pemujaan seseorang terhadap lainnya. Atau pada diri sendiri yang menganggap “Aku layak dicintai.”
Berikut ini adalah beberapa jenis cinta berdasarkan tujuan yang ingin dicapai masing-masing pecinta.

Cinta sesaat populer di kalangan penikmat hubungan seksual semata yang terjadi berdasarkan daya tarik fisik. Cinta semacam ini biasanya ditunjukan melalui bahasa tubuh yang mengisyaratkan kesediaan. Saat ini kita mengenalnya dengan sebutan one night stand.

Kecocokan sifat dan kesamaan ketertarikan terhadap sesuatu menjadi modal utama bagi para pengejar hubungan asmara yang penuh romantisme. Sayangnya cinta semacam ini, bila terlalu membara, hanya akan menghasilkan hubungan sesaat juga. Hal itu karena otak tak dapat mempertahankan kegiatan syaraf yang hebat ketika mabuk kepayang.

Sedangkan bagi penganut ikatan, cinta adalah senjata untuk memenangkan lomba penerusan DNA lewat jalan pernikahan. Penganut fanatiknya kerap menjadikan hipotesis psikologi evolusi sebagai dasar pemilihan pasangan. Namun jauh di balik itu, hal ini juga membuktikan bahwa keinginan mencintai dan dicintai timbul dari naluri bersetubuh yang terpatri di dalam bagian otak yang paling primitif.

Apapun alasannya, cinta ibarat sebuah ramuan memabukan yang takkan pernah tidak menarik untuk disentuh. Siapapun seakan berebut untuk meminumnya. Para pencinta bahkan bisa berdalih ketika melakukan kesalahan dengan ungkapan “namanya juga cinta.”

Bahkan seorang penyair besar dunia, Kahlil Gibran pun rela menulis seperti ini. “Ketika cinta memanggilmu, datangnya kepadanya. Meskipun pedang di balik sayapnya akan melukaimu...”

Saya sendiri meyakini bahwa cinta memang telah menjadi bagian dari gaya hidup setiap manusia. Bahkan di masa mendatang pun akan terus berkembang. Jadi, kenapa harus berhenti untuk mencintai? Terlebih pada hakikatnya, cinta merupakan anugerah terindah Sang Pencipta bagi mahluk-Nya. Orang bijak pun mengatakan, Tuhan tersenyum setiap kali kita jatuh cinta.

Read more...

Valentine

SAYA sudah lupa kapan terakhir kali merayakan Hari Valentine. Bahkan, saya juga lupa apa kado terakhir yang saya berikan dan diberikan mantan saya ketika itu. Ha...ha...padahal saya termasuk lelaki romantis, lho.

Hal ini sebenarnya ada kaitannya dengan pasangan saya sekarang. Ia pernah berkata bahwa Hari Valentine tak perlu menjadi hari yang berlebihan. Ia menganggap cinta dapat diberikan setiap hari, bukan hanya di Hari Valentine. Merayakan momen ini secara berlebihan, bagi sebagian orang, hanya akan menunjukan bahwa selama ini kita tak bisa memberikan yang lebih baik di hari lainnya. Terus terang saya bisa menerima persepsi ini, toh saya memang mencintainya setiap hari.

Semua persepsi tentang Hari Valentine memang tergantung dari sudut mana orang memandang. Lagipula saya tak perlu mengajari Anda bagaimana cara terbaik untuk mencintai pasangan Anda sendiri, bukan?

Izinkan saya bercerita sedikit tentang sejarah Hari Valentine.

Sejarah Hari Valentine ada hubungannya dengan kaum Kristen Roma kuno pada abad ke-3. Kaum Roma selalu mengadakan pesta besar-besaran setiap tanggal 15 Februari. Pesta bernama Lupercalia itu merupakan bentuk persembahan pada dewa Lupercus.

Dewa ini dianggap sebagai pelindung warga Roma dari serigala-serigala yang banyak terdapat di zaman itu. Karenanya Roma terkenal sebagai kota yang dipenuhi serigala. Salah satu tradisi Lupercalia adalah para lelaki muda berkesempatan menyebutkan nama para perempuan muda yang akan menjadi pasangan mereka untuk merayakan festival. Intinya mereka dijodohkan untuk kisah cinta satu hari saja! Walaupun ada juga yang bertahan lebih lama.

Saat itu, ada seorang pendeta Roma bernama Valentine. Secara diam-diam ia menikahkan para prajurit, yang akan ikut serta dalam pesta, dengan pasangannya masing-masing. Raja Roma saat itu, Claudius II geram dengan tindakan Valentine. Ia takut kalau para prajuritnya tak mau pergi berperang karena telah menikah. Tak ayal, Valentine pun dijebloskan ke penjara dan diancam hukuman mati pada 14 Februari, malam sebelum pesta Lupercalia.

Sebelum menghadapi ajalnya, Valentine dikisahkan menemukan cinta sejatinya. Ia jatuh cinta pada anak perempuan penjaga penjara. Sebelum dihukum mati, ia meninggalkan sebuah surat cinta pada perempuan itu. Isinya, ia menyatakan terima kasihnya atas waktu yang telah diberikan perempuan itu karena telah menemaninya selama di penjara. Di akhir surat, Valentine membubuhkan kalimat ”from your Valentine.” Nah, kalimat itulah yang hingga kini akhirnya menjadikan Valentine sebagai figur yang melambangkan kasih sayang dan 14 Februari dirayakan sebagai Hari Kasih Sayang.

Di Indonesia dan beberapa belahan dunia, rata-rata pasangan mempersepsikan Hari Valentine sebagai momen tepat di mana mereka harus menunjukkan cintanya dengan memberikan sebuah hadiah atau pemberian yang bersifat istimewa. Alasannya tidak lain adalah bukti bahwa mereka sangat mencintai pasangannya.

Hari Valentine mungkin telah terlanjur diyakini sebagai hari kasih sayang. Jadi memang sah-sah saja hal itu dilakukan, toh tidak dilarang juga. Walaupun ada beberapa pasangan yang menolak merayakan karena menganggap hal ini adalah tradisi Barat.

Bagi saya sendiri, lepas dari tradisi Barat atau tidak, cinta adalah sesuatu yang bersifat universal. Siapapun berhak mengekspresikan perasaan cintanya pada pasangan lewat berbagai cara. Entah itu merayakan Hari Valentine atau tidak. Baik dari sisi tradisi atau religi, seorang pecinta tidak pernah dilarang untuk mencintai pasangannya. Bahkan hal itu sangat lumrah pun sebuah itikad baik yang disukai Tuhan.

Jadi bila sampai hari ini, Anda merayakan atau tidak momen Hari Valentine, selama Anda selalu mencintai pasangan dan orang-orang terdekat, saya yakin Anda akan tetap dianggap sebagai seseorang yang memiliki kasih sayang.

Read more...

Jalan Pulang

21 Oktober 2008

Orang bijak mengatakan, kita bisa melihat wajah Tuhan pada orang yang kita cintai.

SAAT pintu rumah dibuka. Yang kulihat pertama kali adalah wajah ibuku. Ia tersenyum, dan aku pun segera mencium tangannya. Kukatakan padanya kalau aku sudah pulang ke rumah.

Ketika aku mengatakan aku sudah pulang ke rumah, yang kumaksud adalah aku telah pulang ke hatinya. Hatinya yang selama ini selalu menjadi ‘rumah’ bagiku. Aku memang tak pernah mengatakan hal itu langsung padanya. Tapi, kuharap ia memang sudah mengerti.

Aku ini anak lelaki. Rumah adalah tempatku untuk pulang. Berbeda dengan anak perempuan yang selalu menganggap rumah sebagai tempat menunggu. Aku tak suka menunggu. Artinya, aku beruntung dilahirkan sebagai lelaki.

Ketika aku kecil, ibu selalu bilang padaku agar tak main jauh-jauh dari rumah. Dan saat aku besar, ibu tak lagi mengatakan hal yang sama. Sulit memang menjadi seorang lelaki. Semuanya menjadi bertolak belakang begitu kita beranjak dewasa.

Bila lama tak pulang ke rumah, ibu selalu menanyakan kapan aku pulang. Aku sadar, mungkin ibu sedang merindukan anak lelaki kecilnya yang kini sudah tak ada lagi. Itu bisa kumaklumi, dan biasanya aku berjanji padanya akan mencari waktu untuk pulang.

ketika aku sudah di rumah, ibu kadang bertanya kenapa aku pulang. Kukatakan padanya, aku pulang karena aku sangat lelah. Tapi aku harus hati-hati, karena ibu pasti takkan suka bila aku sudah dimanjakan lelahku. Kalau sudah begitu, aku harus tahu kapan waktunya aku pergi lagi. Hebatnya, kami berdua sama-sama tahu kalau aku pergi tentunya untuk kembali.

Yang jelas, ibu memang ingin aku tetap pulang ke rumah. Itu bisa kulihat dari bekal yang seringkali ia sisipkan untuk perjalananku. Aku rasa, kalau ibu memang tak suka aku pulang, pastinya ia tak akan membawakanku sesuatu yang akan mengingatkanku kembali pada rumah.

Sebelumnya, kupikir hanya ibu yang selalu menginginkanku untuk pulang dengan caranya yang misterius. Tapi, rupanya selama ini Tuhan juga memiliki cara yang tak jauh berbeda. Seperti halnya ibu yang ingin aku selalu mengingat rumah, dengan cara menitipkan sesuatu di perjalananku yang mengingatkanku kalau suatu saat aku harus pulang. Tuhan juga punya cara agar aku selalu ingat pada-Nya, dan menyadari kalau suatu saat aku harus pulang ke rumah-Nya.

Bila ibu menitipkan bekal, lalu apa yang sudah dititipkan Tuhan?

Setelah aku sadari, ternyata orang-orang yang aku cintai dalam kehidupan inilah titipan itu. Seperti halnya aku harus menjaga apa yang dititipkan ibu agar mengingatkan aku padanya, sudah seharusnya aku juga menjaga apa yang sudah dititipkan Tuhan agar selalu mengingat-Nya.

Orang bijak mengatakan, kita bisa melihat wajah Tuhan pada orang yang kita cintai. Bila semakin banyak orang yang aku cintai, semakin seringlah aku melihat wajah Tuhan dan selalu mengingatkan aku pada-Nya. Dan ketika aku telah tulus mencintai orang-orang itu, maka sesungguhnya aku sudah berada di jalan yang benar untuk pulang kepada-Nya.


Read more...

Hidup Secangkir Kopi

“BILA kau hidup di kota seperti Bandung yang hawanya dingin, kau akan sangat menghargai secangkir kopi panas di pagi hari…” ujarnya sambil menyodorkan secangkir kopi yang masih panas padaku. Aku menerima dan menghirup wanginya. Kukatakan padanya kalau aku tak akan pernah bisa mengalahkannya dalam membuat secangkir kopi yang nikmat.

Ia meraih bungkus rokok di atas meja. Diambilnya sebatang rokok dari dalam bungkus itu dan membakarnya. Asap putih yang mengepul dari bibirnya segera berbaur dengan uap panas yang keluar dari cangkir kopi. Sebuah paduan yang indah.

Usia anak itu lebih muda satu tahun dariku. Postur tubuhnya tidak terlalu tinggi, dengan rambut ikal dan kulit cokelat. Sepasang matanya tajam, hidungnya mancung, dan dagunya tegas. Bagiku, semua yang tampak di dirinya sangat Indonesia.

“Hidup itu seperti menikmati secangkir kopi.” Ia berkata lagi dan meneguk cangkir kopinya. Aku diam dan mendengarkan. “Nikmatilah kopi itu selagi hangat. Karena bila terlanjur dingin, kau tidak akan merasakan apapun. Selain rasa kehilangan,” ujarnya.

Aku selalu menganggapnya sebagai seseorang yang tangguh. Paling tidak, aku sadar ia seringkali lebih tangguh dariku. Meski begitu, kuakui pula ia bukannya tak pernah tanpa beban. Suaranya bijak, dan ia selalu bicara dengan nada yang lembut. Ia sangat tenang, dan aku percaya ketenangan selalu memiliki keteraturan.

Menurutnya, hidup adalah saat sekarang. Bukan masa lalu, atau pun masa depan. Nikmatilah apa yang ada saat ini dengan sebaik-baiknya. Kalau sudah begitu, kita tahu bagaimana menghargai kehidupan. Aku tersenyum dan mengangguk, lalu meneguk kopiku sampai habis.

“Lihatlah ampas kopi yang tersisa di cangkir itu,” ujarnya sambil menunjuk cangkirku yang hanya menyisakan ampas kopi. Ia menghisap rokoknya dalam-dalam, mematikan puntungnya di atas asbak, lalu berkata lagi. “Kau bisa tersenyum sekarang. Karena kopi nikmat yang sebelumnya ada di situ, kini telah ada dalam dirimu.”

Read more...

Jus Wortel

“JUS wortel?” tanyaku tak percaya. Ia mengangguk dan tersenyum. Aku hanya menggelengkan kepala. Jus wortel, seperti apa rasanya? Membayangkannya saja sudah cukup membuatku ketakutan.

“Jus alpukat aja,” sahutku saat ia menanyakan jus apa yang ingin kupesan. Gilirannya menggelengkan kepala. Tapi, ia tak memberi komentar apapun. Mungkin dalam hati saja, seperti yang kulakukan.

Ia bilang, jus wortel itu baik untuk mata. Aku tersenyum dan mengatakan padanya kalau ia sok tahu. Katanya, aku harus melihat sendiri buktinya pada kelinci. Tak ada kelinci yang pakai kaca mata. Itu karena mereka rajin makan wortel. Aku tertawa mendengarnya.

Tak butuh berapa lama, segelas besar jus wortel itu habis diminumnya. Aku melongo dan melirik gelas jus alpukatku sendiri yang baru beberapa centi saja kuminum. Kubayangkan bila saja para kelinci itu punya blender seperti halnya manusia. Mungkin, semua wortel di dunia ini akan cepat habis dan manusia tak akan sempat berbagi wortel dengan para kelinci. Hahaha…

Ia juga menyarankanku untuk sesekali mencoba jus wortel. Aku berhenti meneguk jus alpukatku mendengar pernyataan itu. Aku menggeleng cepat dan mengatakan kalau aku tak suka jus wortel. Bagaimana mungkin aku harus meminum sesuatu yang tidak kusukai? Yang benar saja…

Kisah jus wortel dan jus alpukat mirip dengan kisah manusia. Terkadang apa yang kita inginkan atau apa yang sedang kita jalani selama ini, bukanlah apa yang sebenarnya menjadi pilihan kita. Ketika seseorang menawarkan padaku segelas jus wortel atau jus alpukat, maka kusadari kalau itu sebuah pilihan.

Sahabat tercintaku meninggalkan seorang lelaki demi lelaki lainnya yang lebih ia cintai. Sahabatku yang lain memilih kota Jogja sebagai ladang di mana ia menanam dan menyirami mimpi-mimpinya setiap hari. Bagiku, mereka telah menentukan pilihan.

Lalu, apakah mereka yang tinggal di kolong jembatan dan di sisi rel kereta api di sudut-sudut kota Jakarta juga telah menentukan pilihan? Kebanyakan dari mereka saat ditanyakan hal itu, menjawab kalau mereka memang tak punya pilihan. Benarkah? Bagiku tidak.

Sesungguhnya, semua ini berkaitan dengan takdir. Tapi, apakah itu artinya kita tak bisa memilih takdir kita? Apakah kita hanya bisa pasrah dengan apa yang telah digariskan oleh takdir kepada kita?

Ada cerita menarik tentang takdir ini. Suatu hari, seorang Umar bin Khatab pernah menghindari sebuah jalan kecil yang di lorongnya ada sebuah atap rumah yang telah rapuh. Sewaktu-waktu, atap itu dapat menimpa siapa saja yang kebetulan lewat di bawahnya. Saat beliau memilih untuk lewat jalan lainnya, salah seorang sahabat bertanya. “Ya Umar, apakah Anda takut pada takdir Anda?” Umar tersenyum dan menjawab. “Sesungguhnya, aku hanya lari dari takdir yang satu ke takdir lainnya.”

Cerita itu mengajarkan pada kita, bahwa seharusnya kita mengerti apa yang dimaksud dengan takdir. Tak selamanya kita harus pasrah dan menganggap kalau semua yang ada dalam hidup kita adalah takdir. Kita harus menjawab takdir, ketika ia bertanya apa yang sebenarnya kita inginkan. Kita harus percaya bahwa takdir telah memberikan kita sebuah pilihan. Takdir mencoba memahami kita, dan sepatutnya kita juga mampu memahami apa keinginan kita sendiri.

Mintalah kepada-Ku, maka akan Kukabulkan. Begitulah kurang lebih firman Tuhan kepada kita. Dari firman tersebut kita bisa menyadari bahwa Tuhan-lah yang menguasai takdir. Mintalah kepada-Nya untuk mengubah takdir kita menjadi lebih baik. Meminta sesuatu bukanlah selamanya tanda sebuah kelemahan atau keputusasaan. Terlebih meminta kepada-Nya. Itu adalah sebuah kejujuran dan pengakuan akan eksistensi kita sebagai seorang manusia yang selalu terhubung dengan-Nya.

Memang, jus wortel bukanlah pilihan yang buruk. Bahkan bukan sesuatu yang salah. Tapi ketika aku meminta jus alpukat, maka aku tahu apa yang benar-benar aku inginkan. Itulah yang aku sebut sebagai takdir.

Read more...

Hidup Ini Indah

20 Oktober 2008

USAI mematikan komputer dan membereskan berkas-berkas yang harus kubawa, aku baru tersenyum lega. Kusapa teman-teman di ruangan sebelum kulangkahkan kakiku beranjak pulang. Jam lima lewat lima belas. Aku berharap sore ini Jakarta tak semacet biasanya. Ah, semoga…

Saat kuhentikan bis kota P20 jurusan Pasar Senen-Lebak Bulus, aku cuma bisa tersenyum kecut. Seperti biasa, bis itu penuh sesak. Penumpang tampak berjejal bagai ikan dalam keramba. Tak banyak berpikir, aku meloncat ke atas bis yang masih melaju perlahan.

Usai menagih ongkos padaku, kernet pun langsung menyuruhku masuk lebih ke dalam. Seperti biasa, aku hanya bisa menurut saja. Tuk kesekian kalinya, keringat dan bau asap knalpot kendaraan yang melekat di badanku berbaur bersama penumpang lainnya.

Bagai ular yang lapar, P20 menyusuri jalanan ibu kota dengan liar. Kadang merambat, tersendat, dan melaju lagi sambil mencari penumpang. Hutan Jakarta aku menyebut kota ini. Metropolitan yang menyedihkan bagi kaum urban. Ladang yang subur bagi mereka yang telah makmur. Aku hanya bisa tersenyum dan bersyukur, setidaknya aku masih bisa hidup dalam hutan ini. Di antara serigala-serigala yang selalu lapar, di antara domba-domba yang tersesat.

Setelah melewati Mampang Prapatan, kemacetan bukannya berhenti. Malah semakin menjadi. Aku berpikir, mungkin saat ini apa yang ada dalam benak semua orang adalah sama. Ya Tuhan, bebaskan aku dari macet ini.

Tiba-tiba, pandanganku terbentur pada sosok indah yang berada tak jauh dari tempatku berdiri. Mahkluk indah bernama perempuan itu mungkin hanya terpisah 10 meter saja dariku. Di antara himpitan manusia lainnya dalam bis, ia benar-benar indah.

Congkel saja kedua bola mataku bila apa yang sedang kulakukan adalah sebuah dosa. Tapi, tak akan pernah kusalahkan kedua mataku untuk perbuatanku ini. Tak kupungkiri, perempuan memang diciptakan sebagai mahkluk yang indah. Tapi, bukankah sepasang mata manusia pun diciptakan untuk melihat keindahan. Lalu, dimanakah letak dosanya?

Bagai musafir yang menemukan oase. Aku segera menceburkan diri dan memuaskan dahagaku dalam keindahan itu. Sepasang mataku segera berkonsultasi pada otak. Sementara hatiku tersenyum sambil mendengarkan.

Lihat! Sepasang matanya teduh bagai lautan dan berkilat kala memantulkan cahaya lampu jalan. Hidungnya bagus laksana dipahat oleh seniman Yunani terbaik. Bibirnya bagai kuntum bunga yang disegarkan embun pagi. Tak kupungkiri juga rambut panjangnya yang bergelombang bak ditenun tujuh bidadari.

Kulihat ia tersenyum. Entah pada siapa karena yang pasti bukan padaku. Tapi aku tak perduli karena senyuman seindah itu tentunya boleh menjadi milik siapa pun yang melihatnya. Termasuk aku.

Jiwaku bergejolak. Kehangatan yang timbul dari perasaan bahagia bagai reaksi kimia yang hidupkan ragaku.

Tak lama, jiwaku pun melepaskan diri dari raga pengecutku dan melangkah perlahan menghampiri keindahan yang telah memikatnya itu.

“Kau pasti takkan percaya…” bisik jiwaku lembut di telinga perempuan itu. Reaksi pertama perempuan itu adalah terkejut dan menanyakan maksudnya. Pertanyaan itu langsung dijawab jiwaku sambil tersenyum. “Ya, kau pasti takkan percaya. Kau begitu sempurna. Persis seperti seseorang yang telah kugambarkan pada Tuhan kemarin malam”.

Perempuan itu tersenyum. Jiwaku pun mulai berbicara dengannya sepanjang perjalanan. Tentang hidup, cinta, kematian, dan tentang P20 yang selalu dipenuhi manusia-manusia yang tak pernah putus asa dengan kemacetan Jakarta.

Hampir satu jam lamanya aku mengagumi keindahan di depanku itu. Rasanya seribu tahun pun takkan cukup bagiku andai ditawari tambahan waktu. Mungkin, aku memang termasuk tipe manusia yang tak pernah puas. Tapi, bukankah itu sangat manusiawi?

Ia tersenyum lagi dan aku masih yakin senyuman itu bukan untukku. Selama P20 menggilas jalanan Warung Buncit, keindahan itu tak memudar sedikit pun. Aku benar-benar takjub. Mungkin benar ia bukan milikku. Namun, mengetahui bahwa ia hidup, sudah cukup membuatku bahagia.

Tiba-tiba ia bergeser kearah pintu dan meminta P20 untuk berhenti. Ia turun dan meninggalkanku yang masih ingin menikmati pesonanya. Sepintas, kulihat ia sempat melirik dan tersenyum lagi sebelum kaki kirinya menyentuh aspal. Senyum yang cantik. Tapi sayang, aku masih tak yakin kalau itu ditujukan padaku.

Aku hanya bisa tersenyum saat kudengar jiwaku berseru pada perempuan itu. Ia berkata. “Sampai jumpa wahai keindahan, dalam wujudmu yang lainnya.”

Aku lalu berpikir. Bila di setiap pertemuan selalu ada perpisahan, sepertinya Tuhan memang ingin selalu mengingatkan hamba-hamba-Nya bahwa di dunia ini tak ada yang abadi selain Dia. Semua yang berawal, pastilah memiliki akhir. Seperti halnya semua yang datang dari-Nya, pasti juga akan kembali pada-Nya.

Di pertigaan Mangga Besar, aku turun dari P20. Masih terbayang di benakku, keindahan yang tadi muncul di hadapanku. Jiwaku berbisik. “Bila setiap waktu kita selalu menjumpai keindahan di dunia ini, bukankah itu artinya hidup ini indah?” Aku tersenyum mendengarnya dan mengangguk setuju.

Read more...

Happy Idul Fitri 1429H

04 Oktober 2008

THX bgt buat semuanya yang udah ngasih ucapan lebaran taun ini, ya!

Aan: Selamat Hari Raya Idul Fitri. Mohon maaf lahir batin


Diana:
(by phone)

Takeshi:
Sepuluh jari tersusun rapi. Bunga melati pengharum hati. SMS dikirim pengganti diri. Memohon maaf setulus hati. Met idul fitri. Mohon maaf lahir batin

Adel:
‘met lebaran ya maaf lhr batin ^,^ “del”

Gayor:
Mohon maap lahir batin. Mungkin ini trakhir kalinya kt berjumpa walaupun lwat sms. Krn saia akan pergi ke jepang membantu ULTRAMAN menghadapi monster laba2. ciaad

Toge:
Tau ga klo memaafkan itu bs bikin awet muda & hdup jd lbih ringan? Yawdah, maapin dong..drpd jd cpet tua :-p met lebaran karib&karabat skalian. –teguh&jie

Cepek:
1 syawal 1429. jadi inget pas isi bensin, “mulai dari nol lagi ya, pak.”Smoga hari ini kita semua kembali ke-FITRAH. Mulai semua dri awal, dari nol. Minal aidin walfaidzin, mohon maaf lahir dan batin. (Ade cepek dan kel.)

Dinda:
Mhn maaf lahir batin. Selamat hari lebaran 1429 H. Smoga kt dpt dp’temukan lg dgn bln ramadhan thn depan.

Anank:
Keiklasan&niat tulus dalam bingkai hari ini. Noda yg ada terlebur, hanya doa yg tersisa. MINAL AIDIN WAL FAIDZIN..Anang&fitri

Uthe:
Met lebaran, minal aidin walfaidzin..-uthe-

Mona:
Bemby, silakan berlebaran dgn hati lega, krn semua salah lu udah dw maafin, kok. Hehehehee...

Indri:
SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1429 H. Mohon dimaafkan segala kekhilafan dan kesalahan.

Andi:
Sblm ktupat d’iris. Sblm opor pd abiz. Andi yg maniez bagai slebritis mau ngucapin MINAL AIDIN WAL FAIDZIN mohon maaf lahir bathin ya..!!

Ajay:
Secerah mentari syawal, seindah cahay fajar, seiring takbir berkumandang, dg hati tulus kami ucapkan Minal Aidin Wal Faidzin, mohon maaf lahir&bathin

Di2nk:
Slamat hari raya idul fitri 1 syawal 1429 H – minal aidin walfaidzin mohon maaf lahir & batihin. Didink & keluarga

Reo:
selamat idul fitri 1 syawal 1429H.minal aidin wal faidzin.mohon maaf lahir dan bathin..Reo

Epi:
Lisan kadang tak t’jaga. Janji kadang t’abaikan. Hati kadang b’prasangka. Sikap kadang menyakitkan. Harapan ini m’jadi indah jika masih ada maaf diantara kita. Minal aidin wal faidzin, mohon maaf lahir&batin. (Epi dan keluarga)

Dedew:
Stla smua GAYA mlukaimu n USAHA tk lg gna,hrpq ats mavmu mlyng mlwn GRAVITASI, mlaju dgn KECEPATAN max mnggpaimu. Saat JATUH BEBAS,kumhn tngkp n trima mavq!

Tisna:
Getar gema takbiran bertalu2.sadarkan diri atz salahku. MINAL AIDIN WAL FAIDZIN aq ucapkan pdmu, MOHON MAAF LAHIR BATIN,aq hrpkam ihlaz darimu..SELAMAT IDUL FITRI 1429H. By tisna

Amiru:
Met hari raya idul fitri km yg prtama qu qrmin ucapan ne,, mski qu pny ribuan tmn mulai dr: Yg gaul Yg cute Smpe yg kren. Tapi qu mulai dr yg jlek dlu dech..he,,3x mohon maaf lahir batin dari ujung rambut sampe ujung kaki atas khliaf kata, rasa dan tingkah!

Yanie:
I don’t say words of wisdom like a poet does. I don’t embroider beautiful words like a laureate does. But I do wish for your forgiveness. Happy idul fitri ..^_^

Vero:
(by phone)

Fifi:
Berharap fajar fitri menyingsing,berkumandang takbir ilahi,mari sempurnakan hari kemenangan dgn bermaafan,SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1 syawal 1429

Eci:
Taqaballahu minna wa minkum. Mohon maaf apabila ada kesalahan perkataan dan perbuatan. “SELAMAT IDUL FITRI” (ecimomon)

Micil:
(arabic text) Mohon maaf lahir&batin..smoga ibadah kita diridhoi ALLAH SWT ya..^_^ -diah ika m-

Irdan:
Mohon maaf untuk bibir yang salah kecup..minal aidin walfaidzin – irdan

Adit:
‘Taqaballahu minna wa minkum’ SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1429 H. Mohon dimaafkan segala kekhilafan dan kesalahan. Adiett

Asep:
Mohon maaf utk bibir yg kegedean eh, salah ucap, tingkah yg meresahkan dan tjurhat yg kepanjangan..Happy lebaran 1429 H.

Edi:
(arabic text) “SELAMAT IDUL FITRI 1429 H” mohon maaf lahir batin (edi&fam)

Hanny:
“terkadang tcipta dosa dlm tawa,,. Terselip luka dlm canda,,, terlintas keangkuhan dlm senyum,,, hanya mhn m’’f yg dpt tersampaikan” minal aidin walfaidzin..maaf lahir bathin -hanny-

Toei:
Faith makes all things possible.hope makes all things beautiful.may you have all of the three.happy iedul fitri,minal aidin wal faizin. Tio n keluarga

As3:
(image) slmt hr idul fitri 1429 H.mhn maaf lahir batin.

Chery:
(arabic text) selamat idul fitri” mohon maaf lahir dan “bathin

Nona:
Happy lebaran, maaf lahir batin. Nona

Dyan:
Bla idlftri adlh lntera aznkn_q m’bka tabr’n agr chya’n mnmbs jiwa dan mnrngi hti mhn maaph atas sgala khilaf yg p’nah q p’buat. Minal aidin walfaidzin ^gina^

Mang Udin:
(arabic text) SELAMAT IDUL FITRI 1429 H. Mohon maaf lahir dan bathin, MUJAHIDIN dan keluarga.

Nu2:
Selamat lebaran idul fitri, 1429H..minal aidin wal faidzin,mohon maaf lahir bathin..NUNU

Oppie:
Anak kodok mkn ktupat, mkn ktupat smbil mlompat. Ngirim kartu udah g smpat, pake smspun “no what-what”.., mau lebaran neh! MOHON MAAF LAHIR & BATIN ya (oppie)

Royer:
(arabic text) slmt “HARI RAYA IDUL FITRI” mohon maaf lahir bathin (ROY & KELUARGA)

Yoenina:
Selamat hari raya iedul fitri 1 syawal 1429H,mohon maaf lahir batin*YOENINA & keluarga*

Ningsih:
Saat tingkah laku tak trkendali,,saat sikap emnyinggung hati & saat tutur kt melukai...hari yg fitri ini ku mengucapkan mohon maaf ats sgl kesalahan baik yg disengaja/tdk...selamat idul fitri 1 syawal 1429 H...smoga qt slalu dilimpahkan berkah & rahmat Allah SWT...amin...

Read more...

  © Blogger template Writer's Blog by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP