Hidup Ini Indah

20 Oktober 2008

USAI mematikan komputer dan membereskan berkas-berkas yang harus kubawa, aku baru tersenyum lega. Kusapa teman-teman di ruangan sebelum kulangkahkan kakiku beranjak pulang. Jam lima lewat lima belas. Aku berharap sore ini Jakarta tak semacet biasanya. Ah, semoga…

Saat kuhentikan bis kota P20 jurusan Pasar Senen-Lebak Bulus, aku cuma bisa tersenyum kecut. Seperti biasa, bis itu penuh sesak. Penumpang tampak berjejal bagai ikan dalam keramba. Tak banyak berpikir, aku meloncat ke atas bis yang masih melaju perlahan.

Usai menagih ongkos padaku, kernet pun langsung menyuruhku masuk lebih ke dalam. Seperti biasa, aku hanya bisa menurut saja. Tuk kesekian kalinya, keringat dan bau asap knalpot kendaraan yang melekat di badanku berbaur bersama penumpang lainnya.

Bagai ular yang lapar, P20 menyusuri jalanan ibu kota dengan liar. Kadang merambat, tersendat, dan melaju lagi sambil mencari penumpang. Hutan Jakarta aku menyebut kota ini. Metropolitan yang menyedihkan bagi kaum urban. Ladang yang subur bagi mereka yang telah makmur. Aku hanya bisa tersenyum dan bersyukur, setidaknya aku masih bisa hidup dalam hutan ini. Di antara serigala-serigala yang selalu lapar, di antara domba-domba yang tersesat.

Setelah melewati Mampang Prapatan, kemacetan bukannya berhenti. Malah semakin menjadi. Aku berpikir, mungkin saat ini apa yang ada dalam benak semua orang adalah sama. Ya Tuhan, bebaskan aku dari macet ini.

Tiba-tiba, pandanganku terbentur pada sosok indah yang berada tak jauh dari tempatku berdiri. Mahkluk indah bernama perempuan itu mungkin hanya terpisah 10 meter saja dariku. Di antara himpitan manusia lainnya dalam bis, ia benar-benar indah.

Congkel saja kedua bola mataku bila apa yang sedang kulakukan adalah sebuah dosa. Tapi, tak akan pernah kusalahkan kedua mataku untuk perbuatanku ini. Tak kupungkiri, perempuan memang diciptakan sebagai mahkluk yang indah. Tapi, bukankah sepasang mata manusia pun diciptakan untuk melihat keindahan. Lalu, dimanakah letak dosanya?

Bagai musafir yang menemukan oase. Aku segera menceburkan diri dan memuaskan dahagaku dalam keindahan itu. Sepasang mataku segera berkonsultasi pada otak. Sementara hatiku tersenyum sambil mendengarkan.

Lihat! Sepasang matanya teduh bagai lautan dan berkilat kala memantulkan cahaya lampu jalan. Hidungnya bagus laksana dipahat oleh seniman Yunani terbaik. Bibirnya bagai kuntum bunga yang disegarkan embun pagi. Tak kupungkiri juga rambut panjangnya yang bergelombang bak ditenun tujuh bidadari.

Kulihat ia tersenyum. Entah pada siapa karena yang pasti bukan padaku. Tapi aku tak perduli karena senyuman seindah itu tentunya boleh menjadi milik siapa pun yang melihatnya. Termasuk aku.

Jiwaku bergejolak. Kehangatan yang timbul dari perasaan bahagia bagai reaksi kimia yang hidupkan ragaku.

Tak lama, jiwaku pun melepaskan diri dari raga pengecutku dan melangkah perlahan menghampiri keindahan yang telah memikatnya itu.

“Kau pasti takkan percaya…” bisik jiwaku lembut di telinga perempuan itu. Reaksi pertama perempuan itu adalah terkejut dan menanyakan maksudnya. Pertanyaan itu langsung dijawab jiwaku sambil tersenyum. “Ya, kau pasti takkan percaya. Kau begitu sempurna. Persis seperti seseorang yang telah kugambarkan pada Tuhan kemarin malam”.

Perempuan itu tersenyum. Jiwaku pun mulai berbicara dengannya sepanjang perjalanan. Tentang hidup, cinta, kematian, dan tentang P20 yang selalu dipenuhi manusia-manusia yang tak pernah putus asa dengan kemacetan Jakarta.

Hampir satu jam lamanya aku mengagumi keindahan di depanku itu. Rasanya seribu tahun pun takkan cukup bagiku andai ditawari tambahan waktu. Mungkin, aku memang termasuk tipe manusia yang tak pernah puas. Tapi, bukankah itu sangat manusiawi?

Ia tersenyum lagi dan aku masih yakin senyuman itu bukan untukku. Selama P20 menggilas jalanan Warung Buncit, keindahan itu tak memudar sedikit pun. Aku benar-benar takjub. Mungkin benar ia bukan milikku. Namun, mengetahui bahwa ia hidup, sudah cukup membuatku bahagia.

Tiba-tiba ia bergeser kearah pintu dan meminta P20 untuk berhenti. Ia turun dan meninggalkanku yang masih ingin menikmati pesonanya. Sepintas, kulihat ia sempat melirik dan tersenyum lagi sebelum kaki kirinya menyentuh aspal. Senyum yang cantik. Tapi sayang, aku masih tak yakin kalau itu ditujukan padaku.

Aku hanya bisa tersenyum saat kudengar jiwaku berseru pada perempuan itu. Ia berkata. “Sampai jumpa wahai keindahan, dalam wujudmu yang lainnya.”

Aku lalu berpikir. Bila di setiap pertemuan selalu ada perpisahan, sepertinya Tuhan memang ingin selalu mengingatkan hamba-hamba-Nya bahwa di dunia ini tak ada yang abadi selain Dia. Semua yang berawal, pastilah memiliki akhir. Seperti halnya semua yang datang dari-Nya, pasti juga akan kembali pada-Nya.

Di pertigaan Mangga Besar, aku turun dari P20. Masih terbayang di benakku, keindahan yang tadi muncul di hadapanku. Jiwaku berbisik. “Bila setiap waktu kita selalu menjumpai keindahan di dunia ini, bukankah itu artinya hidup ini indah?” Aku tersenyum mendengarnya dan mengangguk setuju.

0 komentar:

  © Blogger template Writer's Blog by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP