Cinta

23 Oktober 2008

Sains dapat menjelaskan bagaimana cinta mempengaruhi otak. Tapi apa yang dapat menjelaskan bagaimana cinta mempengaruhi hati? - Chris Johns , Editor in Chief of National Geographic Magazine

ANDA dan saya tentunya tak menyangkal bahwa kita pernah benar-benar mabuk kepayang disebabkan satu hal, yaitu cinta. Bayangkan ciuman pertama Anda bersama kekasih pertama. Mungkinkah Anda rela menukar momen indah itu dengan apapun di dunia ini? Ah, tak perlu munafik. Itulah cinta di mana Anda tak perlu berdusta.

Saya pernah membaca artikel menarik di Majalah National Geographic Indonesia edisi Februari 2006 yang membahas masalah cinta ini. Menurut artikel tersebut, cinta dan gangguan obsesif-impulsif (OCD, biasanya ditemukan pada pasien penyakit jiwa) sebenarnya memiliki ciri kimiawi yang serupa. Artinya? Cinta dan gangguan jiwa mungkin sulit dibedakan.

Nah, sekarang Anda mengerti mengapa orang yang sedang jatuh cinta kerap disebut tengah mengidap penyakit cinta, bukan?

Donatella Marazitti, profesor psikiatri di Universitas Pisa, Italia adalah orang yang pernah meneliti aspek biokimia pada penyakit cinta. Ia mengukur kadar serotonin (pemancar syaraf) dalam darah pada 24 orang yang telah jatuh cinta selama enam bulan terakhir. Hasilnya, mereka menemukan adanya ketidakseimbangan serotonin pada para kekasih ini. kadarnya bahkan 40% lebih rendah dibandingkan orang yang normal (tidak sedang jatuh cinta). Dalam kata lain, orang yang jatuh cinta adalah “orang gila.”

Jadi kalau tidak mau jadi gila, hendaknya jangan jatuh cinta.

Tapi, kita pastinya akan menolak mentah-mentah anjuran untuk tidak menjadi “gila” ini. Alasannya sederhana. Siapa sih, yang mau menolak kenikmatan dari perasaan mencintai dan dicintai? Walaupun, terkadang cinta sendiri kerap menyakiti. Tak jera, kita terus saja jatuh cinta dan patah hati berulang kali. Padahal begitu masuk ke dalam lingkaran ini, seseorang sudah dianggap terperangkap dalam emosi yang tidak terkendali. Cinta buta dan cemburu buta adalah contohnya.

Sigmund Freud secara gamblang pernah memunculkan sebuah teori ekstrim tentang timbulnya perasaan cinta. Psikoanalis ini pernah menyatakan bahwa dorongan cinta sebenarnya timbul dari adanya dorongan seksual. Di mana gairah seksual lebih bisa terpuaskan bila didapatkan dari orang yang dicintai. Pilihan kita dipengaruhi keinginan tak terpuaskan untuk berhubungan seks dengan ibu, pada anak lelaki, dan ayah, pada anak perempuan. Hal inilah yang kemudian terkenal dengan sebutan Oedipus Complex.

Sebuah teori setelahnya beranggapan cinta memang bersifat reaktif (timbul dari ketidaksadaran kolektif), bukannya proaktif. Teori ini menyatakan bahwa kita mencintai seseorang karena didorong pengalaman masa kanak-kanak yang berawal dari keintiman bersama orangtua dan atau teman-teman masa kecil. Tindakan mencintai ketika dewasa kemudian menjadi sebuah harapan untuk meraih kembali masa lalu yang dirindukan, dan bukannya karena masa depan yang ingin dibangun. Teori ini jelas memasukan Oedipus Complex sebagai referensi.

Namun kemudian teori Freud dan Oedipus Complex mendapat tandingan dengan munculnya psikologi evolusi. Hipotesisnya menyatakan bahwa alasan kita mencintai lebih disebabkan teknik bertahan hidup yang sederhana. Maksudnya? Ya, ketertarikan pada lawan jenis lebih bertujuan untuk dapat memiliki dan menghasilkan keturunan terbaik. Pasangan yang sehat, kuat, dan cerdas dianggap layak untuk dicintai karena akan membantu untuk memberikan keturunan yang akan mampu bertahan dalam seleksi alam.

Tak heran ada kebudayaan yang beranggapan bahwa memilih pasangan hidup berdasar alasan “cinta buta” adalah tindakan bodoh. Sebagian masyarakat kita (Indonesia), bisa dikatakan salah satu dari penganut kebudayaan ini. Anda, tidak lupa dengan istilah bibit, bobot, dan bebet, bukan?

Namun lepas dari teori-teori di atas, cinta telah menjadi tuntutan akan kebutuhan setiap manusia untuk mencapai kebahagiaan. Tengok saja para pecinta yang tengah mabuk kepayang. Keinginan mencintai mereka seringkali dilandasi oleh keinginan untuk dicintai, bukan? Ungkapan “apapun akan kulakukan untukmu, sayang” tak dipungkiri memiliki bahasa tersembunyi dari “Tentunya, bila kau juga mau melakukan apapun untukku.”

Cinta pun akhirnya muncul sebagai sebuah sarana untuk mendapatkan hubungan timbal balik yang efektif. Apapun nama dan jenisnya, cinta menjelma menjadi bentuk pemujaan seseorang terhadap lainnya. Atau pada diri sendiri yang menganggap “Aku layak dicintai.”
Berikut ini adalah beberapa jenis cinta berdasarkan tujuan yang ingin dicapai masing-masing pecinta.

Cinta sesaat populer di kalangan penikmat hubungan seksual semata yang terjadi berdasarkan daya tarik fisik. Cinta semacam ini biasanya ditunjukan melalui bahasa tubuh yang mengisyaratkan kesediaan. Saat ini kita mengenalnya dengan sebutan one night stand.

Kecocokan sifat dan kesamaan ketertarikan terhadap sesuatu menjadi modal utama bagi para pengejar hubungan asmara yang penuh romantisme. Sayangnya cinta semacam ini, bila terlalu membara, hanya akan menghasilkan hubungan sesaat juga. Hal itu karena otak tak dapat mempertahankan kegiatan syaraf yang hebat ketika mabuk kepayang.

Sedangkan bagi penganut ikatan, cinta adalah senjata untuk memenangkan lomba penerusan DNA lewat jalan pernikahan. Penganut fanatiknya kerap menjadikan hipotesis psikologi evolusi sebagai dasar pemilihan pasangan. Namun jauh di balik itu, hal ini juga membuktikan bahwa keinginan mencintai dan dicintai timbul dari naluri bersetubuh yang terpatri di dalam bagian otak yang paling primitif.

Apapun alasannya, cinta ibarat sebuah ramuan memabukan yang takkan pernah tidak menarik untuk disentuh. Siapapun seakan berebut untuk meminumnya. Para pencinta bahkan bisa berdalih ketika melakukan kesalahan dengan ungkapan “namanya juga cinta.”

Bahkan seorang penyair besar dunia, Kahlil Gibran pun rela menulis seperti ini. “Ketika cinta memanggilmu, datangnya kepadanya. Meskipun pedang di balik sayapnya akan melukaimu...”

Saya sendiri meyakini bahwa cinta memang telah menjadi bagian dari gaya hidup setiap manusia. Bahkan di masa mendatang pun akan terus berkembang. Jadi, kenapa harus berhenti untuk mencintai? Terlebih pada hakikatnya, cinta merupakan anugerah terindah Sang Pencipta bagi mahluk-Nya. Orang bijak pun mengatakan, Tuhan tersenyum setiap kali kita jatuh cinta.

4 komentar:

alwaysalia 28 Oktober 2008 pukul 18.34  

hm...kadang kalau lagi mabuk kepayang, tiba2 capek sendiri. gara2 kerja syaraf otak yang hebat? ck ck ck cinta memang gila

Anonim 6 November 2008 pukul 09.28  

hehe... jadi ingat diri sendiri kalo lagi senang2nya sama seseorang. tiap jam liatin hp dan inbox email, berharap si dia memberi kabar... rasanya gimanaa gituu... memang bikin 'gila' :)

Bambang Suprapto 8 April 2009 pukul 19.03  

jadi istilah 'tergila2' emang bener, ya? :D

arief ardiansyah 30 September 2011 pukul 15.21  

I luv u dede :DD

  © Blogger template Writer's Blog by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP