Jalan Pulang

21 Oktober 2008

Orang bijak mengatakan, kita bisa melihat wajah Tuhan pada orang yang kita cintai.

SAAT pintu rumah dibuka. Yang kulihat pertama kali adalah wajah ibuku. Ia tersenyum, dan aku pun segera mencium tangannya. Kukatakan padanya kalau aku sudah pulang ke rumah.

Ketika aku mengatakan aku sudah pulang ke rumah, yang kumaksud adalah aku telah pulang ke hatinya. Hatinya yang selama ini selalu menjadi ‘rumah’ bagiku. Aku memang tak pernah mengatakan hal itu langsung padanya. Tapi, kuharap ia memang sudah mengerti.

Aku ini anak lelaki. Rumah adalah tempatku untuk pulang. Berbeda dengan anak perempuan yang selalu menganggap rumah sebagai tempat menunggu. Aku tak suka menunggu. Artinya, aku beruntung dilahirkan sebagai lelaki.

Ketika aku kecil, ibu selalu bilang padaku agar tak main jauh-jauh dari rumah. Dan saat aku besar, ibu tak lagi mengatakan hal yang sama. Sulit memang menjadi seorang lelaki. Semuanya menjadi bertolak belakang begitu kita beranjak dewasa.

Bila lama tak pulang ke rumah, ibu selalu menanyakan kapan aku pulang. Aku sadar, mungkin ibu sedang merindukan anak lelaki kecilnya yang kini sudah tak ada lagi. Itu bisa kumaklumi, dan biasanya aku berjanji padanya akan mencari waktu untuk pulang.

ketika aku sudah di rumah, ibu kadang bertanya kenapa aku pulang. Kukatakan padanya, aku pulang karena aku sangat lelah. Tapi aku harus hati-hati, karena ibu pasti takkan suka bila aku sudah dimanjakan lelahku. Kalau sudah begitu, aku harus tahu kapan waktunya aku pergi lagi. Hebatnya, kami berdua sama-sama tahu kalau aku pergi tentunya untuk kembali.

Yang jelas, ibu memang ingin aku tetap pulang ke rumah. Itu bisa kulihat dari bekal yang seringkali ia sisipkan untuk perjalananku. Aku rasa, kalau ibu memang tak suka aku pulang, pastinya ia tak akan membawakanku sesuatu yang akan mengingatkanku kembali pada rumah.

Sebelumnya, kupikir hanya ibu yang selalu menginginkanku untuk pulang dengan caranya yang misterius. Tapi, rupanya selama ini Tuhan juga memiliki cara yang tak jauh berbeda. Seperti halnya ibu yang ingin aku selalu mengingat rumah, dengan cara menitipkan sesuatu di perjalananku yang mengingatkanku kalau suatu saat aku harus pulang. Tuhan juga punya cara agar aku selalu ingat pada-Nya, dan menyadari kalau suatu saat aku harus pulang ke rumah-Nya.

Bila ibu menitipkan bekal, lalu apa yang sudah dititipkan Tuhan?

Setelah aku sadari, ternyata orang-orang yang aku cintai dalam kehidupan inilah titipan itu. Seperti halnya aku harus menjaga apa yang dititipkan ibu agar mengingatkan aku padanya, sudah seharusnya aku juga menjaga apa yang sudah dititipkan Tuhan agar selalu mengingat-Nya.

Orang bijak mengatakan, kita bisa melihat wajah Tuhan pada orang yang kita cintai. Bila semakin banyak orang yang aku cintai, semakin seringlah aku melihat wajah Tuhan dan selalu mengingatkan aku pada-Nya. Dan ketika aku telah tulus mencintai orang-orang itu, maka sesungguhnya aku sudah berada di jalan yang benar untuk pulang kepada-Nya.


2 komentar:

ecimomon96 3 Maret 2011 pukul 17.28  

bagus bem isinya...lanjutkan...

Bambang Suprapto 4 Maret 2011 pukul 08.37  

hehhe...thx, ci! iya, dah lama bgt ga apdet ni. kapan2 gw nulis lagi deh

  © Blogger template Writer's Blog by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP