Busway, I’m in Love

29 Desember 2008

Tahukah engkau, kalau setiap detik cinta turun ke bumi? Ia mengetuk pintu hati kita setiap waktu. Bukalah dan jangan biarkan ia menunggu.

LIMA belas menit sudah aku menunggu di halte busway depan kantorku yang terletak di kawasan kuningan, Jakarta. Bersama beberapa penumpang lainnya di dekatku yang mulai gelisah.

Hari memang masih sore, tapi sepertinya semua orang yang ada di sini enggan berselimut senja hari ini. Angin terasa dingin menusuk tulang. Perut lapar dan lelah mendera sebagian orang. Tak terkecuali aku.

Dua puluh menit lewat! Akhirnya kaki-kaki pun terasa ngilu dan pegal. Berdiri memang melelahkan, walaupun aku tak pernah mengeluh ketika harus berjalan kaki sejauh apapun. Tapi berdiri dan hanya bisa menunggu, kuakui itu memang perpaduan dua hal yang paling membosankan.

Dua orang perempuan di belakangku asyik bergosip tentang suasana di kantor mereka hari ini. Kadang berbisik, dan tak jarang mereka tertawa kecil. Aku memang tak pernah suka mendengarkan perbincangan orang lain yang bukan urusanku. Tapi, kalau kalau sudah begini, tentunya menutup telinga pun sudah tak mungkin.

Seorang lelaki paruh baya di sampingku mengomel tiada henti. Entah pada siapa. Yang jelas, kalimat-kalimat yang keluar dari bibirnya tak pantas kuungkapkan kembali di sini. Aku hanya tersenyum. Hal-hal seperti ini memang kerap terjadi setiap hari di halte busway. Dan bila hal seperti ini diceritakan pada teman-teman, hampir dipastikan kalimat sama akan terlontar. “Ini Jakarta, bung!”

Akhirnya setelah 30 puluh menit menunggu, sebuah bus tampak mendekat. Seperti dalam sebuah lomba lari, semua peserta bersiap-siap dengan wajah tegang. Beberapa orang di belakang mendorong mereka yang berada di depan. Seolah takut bus yang datang adalah yang terakhir untuk hari ini.

Saat pintu bus terbuka. Keluhan bernada sama terdengar. Penyebabnya tak lain karena bus sudah penuh penumpang yang naik dari halte sebelumnya. Dan karena posisiku terlanjur berada paling depan, mau tidak mau akhirnya aku masuk juga ke bus yang sudah sesak. Bersamaku masuk pula seorang perempuan sebayaku. “Dua orang saja, ya!” Seru kondektur bus yang langsung mengintruksikan pada si sopir untuk kembali berangkat.

Di dalam bus, aku hampir tak bisa berdiri dengan posisi yang nyaman. Tapi paling tidak sekarang aku tak sedang menunggu di halte lagi, batinku untuk menenangkan diri sendiri.
Mungkin aku memang sedang tak beruntung hari ini. Beberapa kendaraan pribadi yang melanggar dengan masuk ke jalur busway membuat perjalanan menjadi terhambat. Bus pun akhirnya hanya bisa merayap. Di antara himpitan orang seperti ini, fasilitas AC dalam bus seolah tak membantu.

Terkadang hal seperti ini memang terjadi. Atau mungkin seringkali terjadi. Beberapa mobil mewah berpenumpang hanya dua-tiga orang dengan seenaknya melanggar peraturan seolah si pembuat peraturan adalah nenek moyang mereka sendiri. Padahal, ketika mobil-mobil itu mengambil jalur busway, hal ini jelas sangat merugikan pengguna layanan transportasi yang seharusnya bebas macet ini.

Kemacetan ini pun tentunya bukan hanya sebentar, mengingat jalan Rasuna Said cukup panjang dan hanya ada sedikit jalan memutar. Itu pun bila ada di antara mobil-mobil itu ingin memutar. Ah, tak sadar aku jadi ikut mengeluh. Dan tentunya aku tak sendiri. Beberapa penumpang lain pun menggerutu. Biasanya saat keadaan seperti ini, kondektur kerap menjadi tumpahan keluhan penumpang. Walaupun tentunya keadaan ini bukan salah mereka.

“Kapan ya, mas, orang-orang itu sadar kalo tindakan mereka itu salah?” sebuah suara lembut mengagetkanku. Tak perlu kucari kemana-mana, karena memang pemilik suara itu tepat berdiri di hadapanku. Dia adalah perempuan yang ikut bersamaku naik di halte yang sama.
Aku hanya tersenyum mendengar ucapannya. Biasanya kalo aku sudah bicara, akan lama berhentinya. Mulai dari bercerita, bertanya, hingga ngomel-ngomel. Untungnya aku selalu berusaha menahan diri pada orang yang baru pertama kali bertemu.

“Seharusnya, kalo mereka pengen engga macet, kenapa tidak naik busway aja, sih. Apa mereka engga sadar kalo tindakan mereka itu merugikan banyak orang?” Perempuan itu bicara lagi. Melihat matanya tertuju padaku, tentunya ia memang ingin mengajaku bicara. Jadi, kuputuskan saja untuk menjawab ucapannya. “Ya, mungkin mereka tidak mau berdesak-desakan dalam bus, mbak. Lagipula, mereka kan punya mobil, untuk apa naik bus,” jawabku sekenanya.

Perempuan itu tersenyum mendengar jawabanku. “Apalah artinya punya sesuatu, kalo mereka juga mengambil sesuatu dari orang lain.” Aku melongo mendengar kalimat yang baru saja terlontar dari bibir lawan bicaraku. “Maksudnya?” Perempuan itu tertawa kecil. Aku jadi sedikit salah tingkah. Kuakui wajahnya memang cukup manis. Dan bentuk bibirnya saat tertawa tadi begitu menarik. Ah, aku jadi berpikir yang bukan-bukan. Ada-ada saja, di tempat dan situasi seperti ini pula, pikirku mengingatkan.

“Lho, mas engga sadar, ya kalo waktu yang mas miliki udah diambil sama orang-orang itu?” ujarnya menjawab pertanyaanku barusan. Aku diam sebentar lalu tersenyum. “Ah, begitu ya, maksudnya,” ujarku asal. “Mas, naik busway biar engga macet dan engga buang waktu di jalan, kan? Nah, karena ada orang-orang yang melanggar itu, waktu mas jadi terbuang percuma. Dan ingat, bukan cuma mas dan aku aja yang merasa begitu. Semua penumpang bus ini pun juga seharusnya merasakan hal yang sama.” Ia terus saja bicara dan aku hanya bisa mengangguk-angguk sambil sesekali mencuri gerak bibirnya. Seperti siapa, ya, aku mulai menerawang jauh.

“Busway ini kan, transportasi yang disediakan untuk orang-orang yang…ya, ingin terhindar dari macet, lah. Kalo sudah begini, sama saja dong dengan naik kendaraan umum biasa. Malah mungkin masih enak naik kendaraan umum biasa, bisa dapat duduk, engga berdiri berjejalan seperti ini,” ujarnya lagi. Aku mengangguk lagi mengiyakan. Ah, kalo dipikir-pikir, semua yang diucapkan perempuan ini memang benar adanya. Bahkan, aku pun seringkali berpikir seperti itu. Hanya saja, aku tak pernah mengeluhkan secara langsung. Paling hanya menggerutu dalam hati saja.

“Coba ya, mas kalo mereka mau berubah. Tentunya mobil pribadi akan semakin sedikit di jalan raya. Selain menekan polusi, Jakarta juga engga perlu terus-terusan macet seperti ini. Walaupun memang banyak juga, lho, mereka yang sebenarnya punya mobil tapi kemudian mulai beralih menggunakan busway ini.” Aku membenarkan ucapannya dan mengingat-ingat siapa saja teman kantorku yang mulai meninggalkan kendaraan pribadinya dan beralih ke busway.

Alasan mereka yang meninggalkan kendaraan pribadi dan beralih ke busway bisa bermacam-macam. Mulai dari menghemat bensin yang harganya sempat melonjak. Hingga menghindari macet. Sedangkan yang menolak beralih pun punya macam-macam alasan. Ada yang bilang, buat apa punya kendaraan kalau tidak dipakai. Sampai alasan pelayanan busway belum memuaskan, jadi ya, malas aja kalau beralih pakai busway. Ah, kalau begini, sih, memang tergantung pribadinya masing-masing, ya!

“Mas sendiri kenapa naik busway? Bukannya lebih enak kalo cowo tuh naik motor, jadi bisa nyelip-nyelip, gitu.” Aku tertawa mendengar pertanyaannya. Kujawab saja. “Ya, habis gimana lagi, mbak. Saya belum punya kendaraan pribadi, ko. Ya, akhirnya busway jadi andalan buat sementara.” Perempuan itu tersenyum geli mendengar jawabanku. “Oh, jadi kalo nanti sudah punya kendaraan pribadi, rela macet-macetan lagi bersama mereka,” ujarnya sambil menunjuk ke luar jendela di mana mobil-mobil pribadi tampak masih tertahan macet. Aku hanya melongo.

“Eh, maksudku…” Aku jadi gelagapan ditembak seperti itu. Lagipula aku tak suka bila orang menilai apa yang ada di kepalaku begitu saja. “Ah, aku hanya bercanda.” Ia tertawa lagi. Sepanjang perjalanan, aku pun terus berbincang dengannya. Kuakui, ia begitu saja menjelma menjadi teman seperjalanan yang menyenangkan. Sedikit cerewet, sih, tapi tak masalah bagiku. Terkadang aku pun tak keberatan bila berperan sebagai pendengar setia.

Tak terasa, bus mulai memasuki jalanan Warung Buncit. Untungnya, sudah tak ada lagi mobil-mobil pribadi yang masuk ke jalur busway. Jadi bus pun melenggang tanpa halangan. Belakangan ini, Busway Transjakarta memang menyediakan beberapa petugas di ruas jalan tertentu untuk memblokir pintu masuk ke jalur busway. Hasilnya, mobil pribadi, kendaraan umum lain, dan sepeda motor tak bisa masuk ke jalur busway.

Aku selalu menganggap orang-orang yang bertugas memblokir pintu masuk itu sebagai orang-orang yang sangat berjasa dan mengabdi sepenuhnya pada pekerjaan mereka. Walaupun hanya dengan melihatnya saja, aku menemukan betapa membosankannya pekerjaan yang mereka jalani.

Terkadang aku bersyukur dengan pekerjaan yang aku miliki saat ini. Walaupun sejujurnya, aku pun tak jarang menemukan kebosanan dengan rutinitas yang ada. Tapi bila menengok orang lain di sekitarku dengan pekerjaan mereka yang bagiku membosankan, sudah seharusnya aku bersyukur. Dan bukankah dengan bersyukur, maka kita dapat menjalani pekerjaan kita sebaik-baiknya?

“Hey, malah bengong! Turun di mana?” Aku tersentak mendengar teguran perempuan di depanku. Bila ada cermin, tentu aku bisa melihat wajahku memerah karena malu. Bagaimana tidak, aku baru saja melamun dengan sepasang mataku menatap lurus ke wajahnya! Ah, kuharap ia tak berpikir macam-macam. Kulihat ia tertawa kecil dan tak bicara apa-apa. “Turun di Jatipadang. Memangnya mbak turun di mana?” pertanyaan formalitas meluncur spontan dari bibirku.

“Hmmm…berarti mas, duluan deh. Aku turun di Ragunan. Habis itu lanjut lagi sampai Depok,” ujarnya. “Lho, masih jauh, dong. Lanjut pake apa?” tanyaku lagi. “Mobilku parkir di sana. Ke Ragunan cuma ambil mobil aja, habis itu lanjut ke Depok. Setiap hari begini, ko. Kalo tidak, Jakarta bisa tambah macet, kan…” Aku mengangguk saja mendengar penjelasannya.

Mendadak aku jadi tersenyum sendiri. Imej perempuan yang kebanyakan hidup sebagai mahluk yang manja dan hanya menuntut kenyamanan dalam menjalani hidup sirna begitu saja di kepalaku. Perempuan yang sepanjang perjalanan menjadi teman bicaraku ini nyata-nyata salah satu dari mereka yang mau menyisihkan setengah dari kenyamanannya demi berbagi bersama warga Jakarta lainnya untuk menciptakan kota Jakarta yang lebih baik.

Padahal bila saja ia mau, ia dapat memanfaatkan fasilitas yang dimilikinya itu agar bisa menikmati kenyamanan sepanjang hari. Tentunya bagi sebagian besar orang, tetap akan berpikir kalau lebih baik berada dalam mobil pribadi yang lega dan nyaman, dengan AC dan musik yang setia menemani perjalanan daripada berdiri berdesak-desakan dalam kendaraan umum.

Ah, andai saja, semua warga Jakarta memiliki pemikiran dan kemauan yang sama dengan perempuan ini, tentunya kemacetan Jakarta bukanlah hal yang perlu dipusingkan setiap hari. Mungkin memang benar, untuk menjadikan Jakarta yang lebih baik, seharusnya dimulai dari warganya yang mau berusaha untuk menjadi lebih baik. Salah satunya seperti yang sudah dilakukan perempuan ini.

Lagipula, sebagai mahluk sosial, bukankah sebaiknya kita mau untuk berbaur dengan mahluk sosial lainnya. Salah satu contohnya, dengan bersama-sama menggunakan fasilitas umum secara benar dan bertanggungjawab. Di busway ini pun, setiap hari aku bisa melihat bagaimana manusia mau untuk berbagi dan memberikan kasih sayangnya pada manusia lainnya yang membutuhkan.

Aku lihat, tak jauh dari tempatku berdiri, ada seorang lelaki yang dengan rela memberikan tempat duduknya pada seorang ibu hamil. Sedangkan di deretan kursi yang dikhususkan bagi penumpang cacat, seorang lelaki dengan kondisi satu kaki lumpuh, duduk sambil tersenyum karena merasa lega keberadaan dirinya sudah dihargai. Tampak jelas juga olehku, sepasang kekasih yang sama-sama berdiri dan asyik bercanda di ujung sana. Padahal seingatku, sebelumnya ada yang menawarkan tempat duduk pada si perempuan. Tapi dengan halus ia menolaknya dan memilih untuk menemani kekasihnya berdiri.

Pemandangan seperti ini kerap terjadi di depan mataku setiap hari. Aku sadari betapa banyak cinta di sini yang tak pernah disaksikan orang-orang di luar sana, yang seringkali hanya berpikir bagaimana caranya untuk membahagiakan diri sendiri dan tanpa sadar telah menepikan orang lain yang membutuhkan.

“Haltenya dah nunggu, tuh.” Perempuan di depanku mengingatkan saat halte pemberhentianku sudah terlihat. Aku tersenyum dan berterimakasih padanya untuk obrolan kami selama perjalanan. Tak lupa kuingatkan padanya untuk berhati-hati karena perjalanannya sendiri masih cukup jauh. Ia membalas dengan mengangguk.

Saat bus benar-benar berhenti dan pintunya terbuka, aku pun segera melangkahkan kakiku ke luar. Tak sadar, kupalingkan wajahku kembali ke arah pintu bus yang kembali menutup. Di sana, kulihat perempuan itu tersenyum manis sekali sambil melambaikan tangan. Kudengar ia sempat berkata. ”Kalo nanti udah punya mobil sendiri, jangan ikut-ikutan masuk jalur busway, ya, mas!” Aku hanya tertawa dan melambaikan tanganku juga padanya.

Read more...

Surat untuk Sahabat

TUHAN menciptakan dunia ini sebagai sebuah ladang yang luas, yang tiap petaknya adalah jiwa-jiwa kita. Kemudian Ia taburkan setiap benih di atas jiwa-jiwa itu, dan meminta kita untuk menyiraminya. Ia berkata "peliharalah yang Ku-titipkan kepadamu. Sesungguhnya Ku-janjikan di jiwamu, akan tumbuh kebahagiaan."

Setelah hari itu, tumbuhlah sebuah pohon kecil di jiwaku. Walaupun kecil, sesungguhnya pun aku telah merasakan kebahagiaan itu. Lalu kusadari sulitnya membuat kebahagiaan itu tumbuh lebih. Hingga aku berjumpa engkau.

Akhirnya aku pun tak sendiri memelihara pohon ini. Kau berikan airmata tuk menggemburkan tanah tempatnya berpijak. Senyuman tuk menyiangi hamanya. Tawa dan tangisan tuk menguatkan akar dan batangnya. Dan doa untuk menumbuhkan buah di dahannya.

Wahai engkau yang kupanggil teman seperjalanan sejak saat itu, buah ini adalah cinta yang tumbuh dari kebahagiaan. Sungguh, maka ijinkanlah aku berbagi manisnya bersamamu.

Irisan terakhir kan kubawa pergi, karena sungguh jalanku masih panjang. Dan aku yakin begitu pun dengan engkau. Semoga irisan ini dapat menjadi bekal bagiku.

Engkau yang pernah mengisi cawan di jiwaku dengan airmata dan senyuman. Engkau yang pernah menaburkan bintang-bintang di mimpi-mimpiku setiap malam. Dan engkau yang pernah merajut sejuta keindahan di lembaran-lembaran kisahku di hadapan Tuhan.

Terima kasih sebesar-besarnya kuucapkan kepada engkau, engkau, dan engkau. Karena begitu banyak engkau di dalam hidupku.

Read more...

Neverland

28 Desember 2008

Sebuah tempat dari mana kita berasal dan ke mana kita akan kembali.

SORE itu ia pulang dan membawakanku dua benda. Benda pertama adalah sebuah mainan bernama Lego. Aku tak terlalu mempedulikannya karena di kotak mainanku sudah cukup terpenuhi banyak barang. Benda kedua sebuah buku bergambar. Saat itu, umurku baru tiga tahun dan belum pintar membaca. Aku sangat tertarik dengan gambar-gambar dalam buku itu, kuminta ia membacakannya untukku. Ia bilang, judul buku itu adalah Neverland.

Di buku itu, ada sebuah tempat yang sangat indah. Di sana ada anak-anak yang bisa terbang. Ia bilang tempat itu bernama Neverland. Aku pikir itu pasti tempat yang jauh sekali. Mungkin letaknya di luar negeri, seperti tempat-tempat yang aku lihat di televisi.

“Apakah anak-anak di sana memang bisa terbang?” Aku penasaran. Di antara saudara-saudaraku, kuakui aku memang yang paling cerewet. Tapi, aku pikir orang dewasa malah menyukainya. Aku ingat ketika sepupuku yang lebih kecil belum bisa bicara. Orang-orang dewasa di sekitarnya malah memaksanya untuk cepat bicara. Jadi, orang dewasa tentu tak keberatan bila anak kecil banyak bicara, bukan?

Ia mengatakan bahwa anak-anak di Neverland memang bisa terbang, asal tidak nakal. Aku rasa aku tidak terlalu nakal, jadi aku tentu bisa terbang bila ada di sana. “Jadi, apakah aku bisa ke sana?” tanyaku lagi. Ia mengangguk dan mengatakan bahwa aku akan ke sana bila sudah waktunya. Aku kesal mendengar jawabannya. Aku pikir ia tak akan mengajakku ke sana. Aku langsung diam. Anak kecil juga bisa marah, kan?

Tiba-tiba ia batuk. Akhir-akhir ini ia memang sering begitu. Aku rasa ia sedang sakit. Aku memang kesal, tapi aku juga kasihan melihatnya seperti itu. Aku tahu sakit itu rasanya tidak enak. Aku juga takut dokter.

Tiba-tiba ibu datang datang sambil membawa segelas air dan obat. Ibu tampak sangat khawatir. Ibu memang sangat sayang padanya. Dan aku tahu ia juga sangat menyayangi ibu. Karena setiap kali pulang ke rumah, ia tak pernah lupa mencium kening ibu. Aku lihat ibu suka diperlakukan seperti itu. Apakah orang-orang dewasa memang selalu seperti itu? Aku tak mengerti hubungan orang dewasa.

Hari berikutnya, ia tak pergi kemana-mana. Seharian hanya berbaring di tempat tidur. Dokter datang ke rumah dan aku bersyukur dokter bukan datang untukku.

Sebenarnya aku masih kesal padanya. Tapi aku juga rindu suara tawanya. Aku ingin ia menggendongku dan mengajakku jalan-jalan. Tapi aku tahu saat ini ia tak bisa kemana-mana. Makan pun selalu di kamar. Apakah ia sakit karena kemarin aku marah padanya? Aku jadi takut bertemu dengannya.

Hari berikutnya, ibu dan kakek membawanya pergi. Mereka bilang ke rumah sakit. Aku tak ikut karena aku takut bertemu dokter. Selama beberapa hari aku hanya ditemani saudara-saudara dan teman-teman. Aku pun merasa kesepian dan ingin melihatnya kembali pulang ke rumah.

Ibu mengajakku pergi menengok ke rumah sakit. Katanya ia ingin bertemu denganku. Aku bilang, aku juga ingin bertemu dengannya. Tapi aku tak mau ke rumah sakit. Jadi, kenapa tidak ia saja yang pulang ke rumah. Tapi, aku tak mau dibilang nakal karena tak menurut pada ibu.

Akhirnya aku pergi ke rumah sakit. Di sana, aku lihat ia terbaring di kamar yang semuanya serba putih. Ia tersenyum dan mengulurkan tangannya padaku. Aku diam saja. Biasanya kalau aku seperti itu, ia pasti langsung menggendongku. Aku suka digendong olehnya. Kadang, badanku diangkatnya tinggi sekali seperti mau terbang.

“Kau masih marah padaku?” Ia tersenyum dan mengacak rambutku. Ia tahu aku benci diperlakukan seperti itu. Biasanya aku pasti marah, tapi kali ini aku tak ingin marah padanya. Jadi aku diam saja.

“Apa kau mau aku cerita lagi tentang Neverland?” Aku langsung tersenyum dan mengangguk. Tadinya aku pikir ia tak mau lagi menceritakannya padaku. Aku pun duduk di sampingnya.
Aku lihat wajahnya sangat pucat. Tangan yang biasanya kuat menggendongku pun tampak lemah tak berdaya. Aku benar-benar kasihan melihatnya seperti itu. Aku juga menyesal kemarin marah padanya.

“Apakah aku boleh pergi ke Neverland?” tanyaku. Ia lalu tersenyum dan menjawab. “Kita semua boleh ke Neverland. Tapi kalau sudah waktunya.” Aku senang mendengar jawaban itu walaupun aku tetap bertanya-tanya, kapan ia akan mengajakku ke sana. “Neverland adalah tempat dari mana kita berasal dan ke mana kita akan kembali. Jadi siapa pun pasti akan pergi ke sana.”

“Tapi, sebelum kau bisa pergi ke sana, kau harus menjadi anak yang rajin dan menuruti semua perintah ayah dan ibu.” Aku berjanji padanya untuk melakukan semua hal yang dikatakannya.
Tiba-tiba ia terbatuk. Aku takut melihatnya seperti itu. Beberapa dokter masuk ke kamar. Ibu datang dan menggendongku keluar kamar.

Di luar, ibu tampak cemas. Aku diam saja dan menyibukan diri dengan balok-balok lego-ku. Walaupun sebenarnya aku ingin kembali ke kamar saja dan mendengarkan cerita tentang Neverland. Aku sedikit terhibur karena kakek dan nenek menemaniku. “Bu, aku ingin buat istana!” Ibu tersenyum dan membelai rambutku. Ibu memang sangat sabar dan hampir tak pernah memarahiku. Padahal tembok di rumah banyak yang penuh coretan-coretan pensil gambarku. Apalagi beberapa hari ini aku sibuk menggambar Neverland di tembok kamarku.

Tiba-tiba ibu beranjak menuju kamar. “Bu, jangan pergi. Temani aku. Istananya hampir jadi!” teriakku. Tapi sepertinya ibu tak mendengar dan langsung masuk ke kamar. Aku segera bangkit dan mengejar ibu. Brak! Tak sengaja, susunan lego-ku tersenggol hingga berantakan. Tapi aku tak peduli dan segera masuk ke kamar mengikuti ibu.

Tiba-tiba aku terdiam di bibir pintu. Kulihat ibu menangis. Perlahan aku berjalan mendekati ibu. “Sudahlah, relakan saja. Mungkin sudah waktunya ia kembali ke tempat dari mana ia berasal,” ujar kakek memegang pundak ibu yang terus menangis.

Aku tersentak mendengar ucapan kakek. Apa maksud ucapannya tadi? Lalu terlintas nama sebuah tempat yang belakangan ini begitu akrab di telingaku. Neverland.

Read more...

New Blog

13 Desember 2008

Please visit my new blog at www.bambangsuprapto.ucoz.net

Read more...

  © Blogger template Writer's Blog by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP