Neverland

28 Desember 2008

Sebuah tempat dari mana kita berasal dan ke mana kita akan kembali.

SORE itu ia pulang dan membawakanku dua benda. Benda pertama adalah sebuah mainan bernama Lego. Aku tak terlalu mempedulikannya karena di kotak mainanku sudah cukup terpenuhi banyak barang. Benda kedua sebuah buku bergambar. Saat itu, umurku baru tiga tahun dan belum pintar membaca. Aku sangat tertarik dengan gambar-gambar dalam buku itu, kuminta ia membacakannya untukku. Ia bilang, judul buku itu adalah Neverland.

Di buku itu, ada sebuah tempat yang sangat indah. Di sana ada anak-anak yang bisa terbang. Ia bilang tempat itu bernama Neverland. Aku pikir itu pasti tempat yang jauh sekali. Mungkin letaknya di luar negeri, seperti tempat-tempat yang aku lihat di televisi.

“Apakah anak-anak di sana memang bisa terbang?” Aku penasaran. Di antara saudara-saudaraku, kuakui aku memang yang paling cerewet. Tapi, aku pikir orang dewasa malah menyukainya. Aku ingat ketika sepupuku yang lebih kecil belum bisa bicara. Orang-orang dewasa di sekitarnya malah memaksanya untuk cepat bicara. Jadi, orang dewasa tentu tak keberatan bila anak kecil banyak bicara, bukan?

Ia mengatakan bahwa anak-anak di Neverland memang bisa terbang, asal tidak nakal. Aku rasa aku tidak terlalu nakal, jadi aku tentu bisa terbang bila ada di sana. “Jadi, apakah aku bisa ke sana?” tanyaku lagi. Ia mengangguk dan mengatakan bahwa aku akan ke sana bila sudah waktunya. Aku kesal mendengar jawabannya. Aku pikir ia tak akan mengajakku ke sana. Aku langsung diam. Anak kecil juga bisa marah, kan?

Tiba-tiba ia batuk. Akhir-akhir ini ia memang sering begitu. Aku rasa ia sedang sakit. Aku memang kesal, tapi aku juga kasihan melihatnya seperti itu. Aku tahu sakit itu rasanya tidak enak. Aku juga takut dokter.

Tiba-tiba ibu datang datang sambil membawa segelas air dan obat. Ibu tampak sangat khawatir. Ibu memang sangat sayang padanya. Dan aku tahu ia juga sangat menyayangi ibu. Karena setiap kali pulang ke rumah, ia tak pernah lupa mencium kening ibu. Aku lihat ibu suka diperlakukan seperti itu. Apakah orang-orang dewasa memang selalu seperti itu? Aku tak mengerti hubungan orang dewasa.

Hari berikutnya, ia tak pergi kemana-mana. Seharian hanya berbaring di tempat tidur. Dokter datang ke rumah dan aku bersyukur dokter bukan datang untukku.

Sebenarnya aku masih kesal padanya. Tapi aku juga rindu suara tawanya. Aku ingin ia menggendongku dan mengajakku jalan-jalan. Tapi aku tahu saat ini ia tak bisa kemana-mana. Makan pun selalu di kamar. Apakah ia sakit karena kemarin aku marah padanya? Aku jadi takut bertemu dengannya.

Hari berikutnya, ibu dan kakek membawanya pergi. Mereka bilang ke rumah sakit. Aku tak ikut karena aku takut bertemu dokter. Selama beberapa hari aku hanya ditemani saudara-saudara dan teman-teman. Aku pun merasa kesepian dan ingin melihatnya kembali pulang ke rumah.

Ibu mengajakku pergi menengok ke rumah sakit. Katanya ia ingin bertemu denganku. Aku bilang, aku juga ingin bertemu dengannya. Tapi aku tak mau ke rumah sakit. Jadi, kenapa tidak ia saja yang pulang ke rumah. Tapi, aku tak mau dibilang nakal karena tak menurut pada ibu.

Akhirnya aku pergi ke rumah sakit. Di sana, aku lihat ia terbaring di kamar yang semuanya serba putih. Ia tersenyum dan mengulurkan tangannya padaku. Aku diam saja. Biasanya kalau aku seperti itu, ia pasti langsung menggendongku. Aku suka digendong olehnya. Kadang, badanku diangkatnya tinggi sekali seperti mau terbang.

“Kau masih marah padaku?” Ia tersenyum dan mengacak rambutku. Ia tahu aku benci diperlakukan seperti itu. Biasanya aku pasti marah, tapi kali ini aku tak ingin marah padanya. Jadi aku diam saja.

“Apa kau mau aku cerita lagi tentang Neverland?” Aku langsung tersenyum dan mengangguk. Tadinya aku pikir ia tak mau lagi menceritakannya padaku. Aku pun duduk di sampingnya.
Aku lihat wajahnya sangat pucat. Tangan yang biasanya kuat menggendongku pun tampak lemah tak berdaya. Aku benar-benar kasihan melihatnya seperti itu. Aku juga menyesal kemarin marah padanya.

“Apakah aku boleh pergi ke Neverland?” tanyaku. Ia lalu tersenyum dan menjawab. “Kita semua boleh ke Neverland. Tapi kalau sudah waktunya.” Aku senang mendengar jawaban itu walaupun aku tetap bertanya-tanya, kapan ia akan mengajakku ke sana. “Neverland adalah tempat dari mana kita berasal dan ke mana kita akan kembali. Jadi siapa pun pasti akan pergi ke sana.”

“Tapi, sebelum kau bisa pergi ke sana, kau harus menjadi anak yang rajin dan menuruti semua perintah ayah dan ibu.” Aku berjanji padanya untuk melakukan semua hal yang dikatakannya.
Tiba-tiba ia terbatuk. Aku takut melihatnya seperti itu. Beberapa dokter masuk ke kamar. Ibu datang dan menggendongku keluar kamar.

Di luar, ibu tampak cemas. Aku diam saja dan menyibukan diri dengan balok-balok lego-ku. Walaupun sebenarnya aku ingin kembali ke kamar saja dan mendengarkan cerita tentang Neverland. Aku sedikit terhibur karena kakek dan nenek menemaniku. “Bu, aku ingin buat istana!” Ibu tersenyum dan membelai rambutku. Ibu memang sangat sabar dan hampir tak pernah memarahiku. Padahal tembok di rumah banyak yang penuh coretan-coretan pensil gambarku. Apalagi beberapa hari ini aku sibuk menggambar Neverland di tembok kamarku.

Tiba-tiba ibu beranjak menuju kamar. “Bu, jangan pergi. Temani aku. Istananya hampir jadi!” teriakku. Tapi sepertinya ibu tak mendengar dan langsung masuk ke kamar. Aku segera bangkit dan mengejar ibu. Brak! Tak sengaja, susunan lego-ku tersenggol hingga berantakan. Tapi aku tak peduli dan segera masuk ke kamar mengikuti ibu.

Tiba-tiba aku terdiam di bibir pintu. Kulihat ibu menangis. Perlahan aku berjalan mendekati ibu. “Sudahlah, relakan saja. Mungkin sudah waktunya ia kembali ke tempat dari mana ia berasal,” ujar kakek memegang pundak ibu yang terus menangis.

Aku tersentak mendengar ucapan kakek. Apa maksud ucapannya tadi? Lalu terlintas nama sebuah tempat yang belakangan ini begitu akrab di telingaku. Neverland.

0 komentar:

  © Blogger template Writer's Blog by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP