Menjadi Positif

25 Februari 2009

SEJAK awal Januari hingga Februari 2009 ini, aku sedikit banyak langsung disibukkan oleh beberapa hal. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, beberapa pekerjaan kantor dan pe-er (pekerjaan rumah) sudah mengantri dan tak jarang menyita waktu istirahat.

Imbasnya tentu bisa positif dan negatif. Positifnya, tak banyak waktuku yang terbuang percuma. Aku memang terkadang merasa bersalah bila terlalu sering membuang waktu. He. Tapi negatifnya, selain waktu istirahat menjadi berkurang, kondisi emosionalku kadang jadi tak stabil (bukan maksudnya kemudian aku jadi engga waras, lho :D). Menjadi mudah kesal pada sesuatu atau seseorang mungkin salah satu contoh efek negatif yang kerap datang padaku. Obatnya? Pada saat-saat efek negatif itu datang, biasanya aku rajin mendengarkan musik rock, membaca buku bacaan ringan, dan menonton film-film komedi yang tidak mengajak untuk terlalu banyak berpikir.

Nah, iseng-iseng, aku juga sekarang membuat satu lagi blog baru (plz visit www.inovasi-samudra.blogspot.com). Aku berharap blog ini bisa ikut membantu membendung efek negatif tadi. Blog ini isinya beberapa kumpulan tulisan mengenai sains yang selama ini aku sumbangkan untuk sebuah majalah lingkungan dan isu-isu kelautan.

Sedikit bercerita, ketika pertama kali atau tepatnya akhir 2006, aku diminta untuk menjadi penulis lepas untuk bidang sains di majalah, aku sedikit ragu. Bukan apa-apa, walaupun aku menyukai bidang ini, tapi jelas aku bukan ahlinya. Tapi, kupikir kenapa tidak kucoba dulu saja.

Akhirnya, aku pun mulai menulis tentang sains yang berhubungan dengan dunia laut untuk kolom Inovasi di Majalah Samudra, terbitan Jakarta. Dan ternyata tak terlalu sulit mencari bahannya karena banyak sekali referensi yang bisa aku dapatkan dari internet.

Setelah beberapa edisi, aku pun mulai dipercaya untuk terus memegang kolom tersebut. Bahkan terkadang aku juga diminta untuk menulis bidang lainnya. Tak masalah bila kebetulan aku memang sedang tidak terlalu sibuk dengan urusan di kantorku sendiri sebagai konsultan eLearning.

Walaupun seringkali merasa lelah dan bosan dengan rutinitas pekerjaan yang datang padaku. Aku berusaha untuk melihat sisi positif dari suatu hal. Karena aku punya harapan, untuk selalu menjadi bagian dari hal positif tersebut. Semoga.

Read more...

Bola Sembilan

07 Februari 2009

Aku pernah bertanya pada seorang teman. “Mengapa Tuhan membutuhkan waktu hingga tujuh hari untuk menciptakan alam semesta? Bukankah dengan kekuasaan dan kemampuan-Nya, dalam waktu se-detik pun Ia mampu melakukannya?” Lalu temanku menjawab. ”Tuhan ingin mengajarkan pada kita tentang sebuah proses.”

TAR! Satu sodokan cantik menggiring bola sembilan meluncur masuk ke lubang kiri atas meja bilyar. Untuk kesekian kalinya, aku hanya bisa menghela nafas. Entah sudah berapa kali aku dikalahkannya malam ini. Kuakui, Nova memang bermain sangat baik. Bahkan terlalu baik!

Kuletakkan stik di tempatnya, lalu melangkah menuju sofa yang terletak di samping meja bilyar. Kulesakkan pantatku di sana. Ah, lumayan capek juga, pikirku. Memang, walaupun kelihatannya ringan, bilyar merupakan olahraga yang memadukkan fisik dan pikiran. Bayangkan saja, kalau dihitung-hitung langkah kaki kita saat mengelilingi meja bilyar setiap kali mencari sudut yang tepat untuk melepaskan sodokan, hampir sama dengan satu kali mengelilingi lapangan bola basket! Lalu, kalikan dengan berapa kali set yang dimainkan. Belum lagi otak yang dikuras habis untuk memikirkan langkah selanjutnya, menghitung sudut agar tembakan tidak meleset, dan lain-lain.

Kuminum sedikit soft drink milikku dan mulai membakar rokok. Nova pun melakukan hal yang sama. “Kau perlu banyak belajar,” ujarnya sambil menghembuskan asap rokoknya. Aku menggeleng-gelengkan kepala mendengar ucapannya. “Ya, aku tahu itu,” cetusku pelan. Nova tersenyum dan berkata lagi. “Hey, kau sudah bermain baik tadi. Maksudku, kau perlu belajar untuk sabar.”

Aku mengangguk dan meminum soft drink-ku lagi. “Bilyar itu engga cuma butuh teknik, tapi juga kesabaran. Aku lihat kau belum memiliki itu. Ya, paling tidak ada sih, sedikit...,” ujarnya sambil tertawa. Aku mendelik sewot. Padahal selama ini aku merasa kalau aku termasuk orang yang sabar. Bahkan terlalu sabar untuk hal-hal tertentu. Jadi tentu saja aku tak terima ucapan yang baru saja diucapkannya.

“Kau terlalu terburu-buru mengambil langkah. Memang, yang namanya kesempatan itu harus diambil ketika ia datang. Tapi, kau juga tentu harus memikirkan langkah selanjutnya, bukan?” jelas Nova. Aku hanya mengangguk-angguk dan meminta ia melanjutkan ‘kuliah singkatnya’.

“Begini, kau boleh saja mengambil kesempatan ketika ia datang. Tapi, kau juga harus memikirkan kalau sebuah tujuan itu selalu membutuhkan sebuah proses. Setiap kali bermain, aku perhatikan kau terlalu cepat mengincar bola sembilan untuk mendapatkan kemenangan. Artinya kau mengabaikan bola-bola kecil yang sebenarnya memiliki arti sangat penting.” Ia bicara seperti seseorang yang telah mengerti aku sekian lama. Padahal, ia baru beberapa bulan lalu menjadi teman kantorku. Dan kami langsung akrab setelah sama-sama menyukai bilyar.

“Permainan bola sembilan adalah sebuah proses. Biarkanlah proses itu mengalir. Maka kau akan mengerti bahwa untuk mencapai bola sembilan, kau harus memulai dengan membidik bola pertama.” Aku mulai mengerti apa yang dikatakan Nova padaku. Memang kalau dipikir-pikir, selama ini, aku seringkali mengabaikan hal-hal kecil yang sebenarnya disediakan untuk mendukung langkahku.

Di kepalaku hanya terbayang bola sembilan sejak permainan dimulai. Aku seringkali mengacuhkan bola lainnya yang lebih kecil seolah mereka tak berarti apa-apa. “Permainan ini intinya memang untuk memasukkan bola sembilan. Dan setelah itu, menang. Tapi, jangan lupa bahwa untuk mendapatkan kemenangan, kita harus melalui tahapan-tahapan, yaitu memasukkan bola-bola kecil. Hidup juga seperti itu, kan?” jelasnya lagi.

Aku tertawa mendengarnya, seolah semua kenangan-kenangan masa lalu kembali hadir di kepalaku. Mungkin selama ini aku memang kerapkali mengabaikan yang namanya ‘proses’. Setiap kali ada kesempatan, aku selalu bertindak buru-buru, padahal aku sendiri belum tahu bagaimana hasilnya. Bisa jadi berhasil. Tapi mungkin memang akan lebih baik hasilnya bila melalui proses yang benar.

“Hey, hampir jam 12, ni. Keluar aja, yuk!” ujarnya sambil bangkit dan langsung menuju kasir bilyar. “Aku yang bayar!” sahutnya. Aku mengangguk sambil mengenakkan jaketku. Maklum, cuaca Kota Kembang sedang dingin-dinginnya.

Kami melangkahkan kaki meninggalkan tempat bilyar yang terletak di salah satu sudut jalan Dago yang merupakan salah satu daerah terkenal di Kota Bandung. Suasana tampak sangat ramai menjelang Tahun Baru 2006. Suara terompet bersahut-sahutan. Kendaraan pun sibuk berlalu lalang. Dan di ujung sana, konser musik jalanan terus berlangsung membawakan lagu-lagu cinta.

Hampir satu tahun lamanya aku hidup di kota ini. Mencari uang dan menimba pengalaman hidup di kota orang. Sayangnya, minggu depan mungkin aku akan pindah ke Jakarta karena kebetulan mendapat tawaran kerja yang lebih menarik minatku.

Aku akui, berat sekali meninggalkan kota indah ini. Walaupun hanya satu tahun, ada begitu banyak hal yang bisa aku pelajari di sini. Mulai dari mencoba beradaptasi dengan daerah bercuaca dingin, bahasa sunda yang hingga saat ini belum mampu kukuasai, hingga budaya masyarakatnya yang terkenal santun.

“Kau yakin engga mau tetap di Bandung dan memutuskan memiilih Jakarta yang sumpek itu?” pertanyaan Nova mengagetkanku. Aku hanya menjawab bahwa mungkin ini adalah jalan yang harus kulalui berikutnya. Tapi aku juga berjanji padanya suatu saat akan kembali ke kota ini. “Saat aku kembali, aku harap aku akan mengalahkanmu nanti,” ujarku mengingatkannya pada permainan bilyar tadi.

“Aku harap begitu! Tapi kau juga tetap harus ingat, kalau hidup bukan hanya tentang menang dan kalah saja. Hidup adalah tentang bagaimana kau menjalani hidup itu sendiri. Tentang bagaimana kau mampu melalui setiap proses yang membuatmu tetap hidup,” ujarnya lagi. “Tapi, ngomong-ngomong kenapa kau masih jomblo aja sampe sekarang? Satu tahun kau hidup di antara bunga-bunga, tapi kau malah menjadi kumbang pertapa.”

Aku tertawa mendengar celetukan isengnya. Kujawab saja. “Mungkin itu karena selama ini aku melupakan hal yang penting tadi. Proses.” Ia mengangguk sambil tersenyum, lalu memberi isyarat padaku dengan matanya untuk menunjuk dua orang perempuan cantik yang baru saja melewati kami sambil tertawa kecil. “You’ll be missing this city so much, buddy. Happy New Year!” sahutnya sambil mengajakku berlari menembus gerimis yang mulai datang.

Read more...

  © Blogger template Writer's Blog by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP